"Pak Kades? Bapak di sini?" Okta cukup terkejut melihat ada Diki di belakangnya, masalahnya Okta baru saja melihat kesana-kemari dan tidak ada orang. Bagaimana bisa Diki ada di sana?
"Ya, Bu Okta. Maaf kalau saya bikin Bu Okta kaget."
"Ah nggak, Pak Kades. Saya kira tadi tidak ada orang. Bapak ada perlu di sekolah ini?"
"Ehm saya mau ajak Bu Okta untuk keliling desa ini, sekalian untuk memperkenalkan tradisi dan budaya Desa Pugano ke Bu Okta."
"Oh begitu. Ya sudah biar saya beri tahu teman-teman saya yang lain dulu."
"Eh tidak perlu Bu Okta, guru-guru yang lain sudah berangkat duluan dipandu oleh Sertu Indra dan Serda Romi."
"Loh kok saya ditinggal?"
"Ya karena kelas Bu Okta yang keluar paling terakhir," Okta sebenarnya merasa cukup aneh dengan situasi ini. Kenapa harus kepala desa yang mengantarnya berkeliling kalau teman-temannya saja dipandu oleh TNI? Okta tidak mau ambil pusing, ia mengiyakan ajakan Pak Kades muda itu.
"Kalau begitu saya ambil tas saya dulu di kantor, Pak Kades."
"Ya silakan, Bu Okta. Saya akan menunggu di sini,"
...
Di sinilah Okta, berjalan beriringan bersama Pak Kades mengitari Desa Pugano yang asri ini.
"Mata pencaharian utama warga desa ini adalah dengan berkebun, Bu Okta. Komoditas yang utama dan menjadi andalan dari Desa Pugano adalah teh melati daun kumis kucing yang pernah saya suguhkan di balai desa kemarin," Okta hanya mengangguk menanggapi.
"Saya akan mengajak Bu Okta untuk melihat kebun teh yang ada di desa ini lain kali saja, soalnya jaraknya cukup jauh kalau ditempuh dengan jalan kaki."
"Eh tidak perlu repot, Pak Kades. Biar saya nanti jalan-jalan dengan guru-guru yang lain saja,"
"Tidak repot, Bu Okta." Okta cuma tersenyum sebagai jawaban.
Mereka berdua melanjutkan perjalanannya, kemudian Diki mengajak Okta untuk mampir sebentar ke barak TNI yang ada di ujung desa.
"Ini barak TNI, Bu Okta, dan mereka semua yang bertugas mengamankan desa ini,"
Diki memperkenalkan Okta kepada sekumpulan TNI yang kelihatannya sedang beristirahat di bawah pohon besar di depan barak, kemudian Okta melemparkan senyum. Namun, mata Okta tertuju pada satu orang di ujung kursi sedang membaca buku. Letda Kafi.
Okta sebenarnya ingin menanyakan hal tentang kemarin malam kepada lelaki itu, tapi ia rasa kalau ini bukanlah saat yang tepat. Kapan-kapan saja, tolong ingatkan Okta untuk menanyakannya.
"Pak Kades dan Bu Okta, dari mana?" Letda Kafi menghampiri tamu yang datang ke barak itu.
"Saya baru saja mengajak Bu Okta berkeliling desa, Letda. Oh iya, Sertu Indra dan Serda Romi sudah ada di sini, berarti para guru yang lain sudah kembali ke pondok, ya?"
"Siap, sudah, Pak Kades." Serda Romi yang menjawab.
"Ya sudah kalau begitu saya per-" ucapan Diki terpotong ketika ada remaja laki-laki yang berlari terengah-engah sambil memanggilnya.
"Pak... Kades... hah.."
"Ali? kenapa kamu lari-lari begitu?"
"I-itu Pak... hah... I-ibu..." remaja itu menunjuk ke arah pusat desa.
"Kenapa ibu? tenang dulu, tarik napas... baru cerita!"
"hah... ibu kambuh, Pak. Makanya saya lari ke sini, ibu harus dibawa ke kota sekarang juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemilau Asa di Ujung Desa
Aktuelle LiteraturLuka atas berpulangnya sang suami membuat seorang perempuan yang berprofesi sebagai guru itu membuatnya mengambil langkah berani untuk mengikuti program mengajar di perbatasan. Harapannya adalah untuk bisa segera sembuh dari luka kehilangan suaminya...