"Beneran deh Pak, ini kaki rasanya udah mau patah saking banyaknya tamu hari ini" Itu bukanlah keluhan pertama yang keluar dari mulut Lusi, salah satu pegawai disebuah kafe ditengah kota dengan pelanggan yang rata-rata adalah pekerja kantoran ataupun Mahasiswa yang datang untuk mengerjakan tugas atau sekedar haha-hihi sembari memesan segelas kopi dan WiFi gratis tentunya.
Julian tersenyum mendengar gerutuan salah satu pegawai nya yang menurutnya memang lebih cerewet dibanding yang lainnya, 'sudah biasa' batinnya.
"Ya kalo sepi, nanti saya gaji kamu pakai apa Lusi? Daun? Kamu mau?" Sahut Julian dengan nada usil.
"Ehh, gak gitu dong pak, maksudnya tuh boleh ramai tapi ya gak seramai ini, aduh gimana ya ngomongnya?! Ihh pokoknya gitu lah".
"Ck, berhenti bicara yang tidak masuk akal dan lekas layani pelanggan yang baru datang atau aku potong gajimu!" Julian menggelengkan kepalanya karna tingkah lucu pegawai nya itu.
"Tapi pak-"
"Gak denger!" Julian berlalu meninggalkan Lusi yang tengah mendumel dengan suara tawa para pegawai lainnya yang mungkin merasa terhibur dengan 'keributan' barusan.
Pelanggan terakhir baru saja pergi bersamaan dengan suara guntur dan tak lama hujan turun. Desahan dan keluhan para pegawai terdengar tumpang tindih dengan suara hujan diluar, merasa kesal karena hujan datang tak tepat waktu membuat mereka tinggal lebih lama.
Julian lagi-lagi memijat kepalanya saat suara bising kembali didominasi oleh Lusi, demi Tuhan, gadis itu selalu mengeluh lelah tapi entah kenapa masih saja ada tenaga untuk mengoceh.
Meninggalkan area dapur, ia melangkah keluar dengan secangkir kopi ditangan menuju pintu keluar. Suara hujan dan aroma hujan yang khas selalu mampu membuatnya lebih baik. Kakinya ia bawa duduk di kursi yang memang disediakan di emperan cafe untuk pelanggan yang mungkin butuh suasana yang berbeda. Matanya menjelajah sekitar, menatap toko-toko yang beberapa sudah tutup atau ada yang masih buka, atau yang mungkin terjebak seperti ia dan pegawainya. Hujan seperti nya akan sedikit lebih lama untuk reda dan ia sudah cukup merasa dingin, dengan cepat ia berdiri hendak masuk tapi gerakannya terhenti saat matanya menangkap seseorang yang keluar dari toko seberang, tempat Lusi menghabiskan hampir setengah waktu istirahatnya disana, toko Bunga.
Jika ini terlalu berlebihan maka anggap saja seperti itu, tapi bagi Julian ini benar-benar terjadi. Ia tak lagi merasakan dinginnya angin malam bercampur hujan, bahkan tak lagi terdengar digendang telinganya suara air hujan yang menghantam benda-benda dibawah guyuran nya.
Tiba-tiba ia merasa hatinya menghangat, waktu terhenti saat diseberang sana terdapat sosok yang begitu menarik matanya. Sosok itu tampak tengah menggerutu yang apa ia tak tau, hanya terlihat dari gerak bibirnya yang tengah bergerak-gerak
"Cantik..." Tanpa sadar ia bergumam sendiri. Beberapa waktu Julian hanya berdiri terpaku menatap gadis di seberangnya ini. Hidung mancung, rahang tegas, bibir tipis, rambut panjang lurus berwarna hitam segalanya menjadi satu dalam porsi pas dan tidak berlebihan.
Ini lucu, beberapa waktu lalu ia mengatai (Arlan) adiknya bodoh karena mengoceh perihal jatuh cinta pada pandangan pertama dan lihat siapa yang seperti orang bodoh sekarang.
Bahkan sampai saat Lusi menepuk bahu Julian untuk mengingatkannya, ia tidak sadar bahwa waktu sudah berlalu hujan yang semula turun dengan derasnya telah berhenti. "Lagi ngeliatin apa sih Pak? Sampe ga kedip gitu?" Lusi dengan jahilnya mencari-cari arah pandang Julian tadi.
"Kepo banget deh, sudah sana pulang nanti turun hujan lagi Hus hus" Tanpa babibu Julian mengusir Lusi.
Saat ingin menutup pintu toko pun Julian masih mencari keberadaan gadis Toko Bunga tadi. Tetapi setelah di fikir kembali sungguh tidak sopan mengajak kenalan seorang gadis di jam sebelas malam hari, jadi Julian mengurungkan niat baiknya itu.
"Sampai bertemu esok, cantik"
***