Bab 26 Takdir

10 1 1
                                    

"Maaf ya, kalau tadi aku bersikap kurang menyenangkan. Aku takut kehilanganmu lagi," ujar Abim ketika mereka sudah duduk berhadapan di sebuah restoran yang sepi pengunjung.

Abim tidak melepaskan pegangannya sampai mereka berada di restoran bernuansa ungu muda. Ia benar-benar takut kehilangan Sofia untuk kedua kalinya. Rasa kaget bercampur bahagia ia rasakan saat tadi secara tak sengaja bertemu dengan gadisnya yang dulu.

Walaupun Sofia merasakan kerinduan yang mendalam terhadap laki-laki masa lalunya, tetapi ia tak kuasa memandang lama wajah teduh lelaki itu.

"Eh, tapi maaf kalau sikapku tadi kurang ajar. Maaf kalau ada seseorang yang mungkin menunggumu atau tidak menghendaki kita bersama di sini."

"Tak apa," jawab Sofia. Ia memberanikan diri memandang manik mata cokelat itu walaupun hanya sesaat. Ia segera mengalihkan pandangan ke pramusaji bercelemek ungu muda yang datang membawa pesanan mereka.

"Oh ya, bagaimana kabarmu? Hem ... sudah berkeluarga?" tanya Abim lirih. Ia seolah tak sanggup mendengarkan jawaban Sofia seandainya jawaban itu tidak sesuai dengan yang ia harapkan.

Sofia menggeleng. Buru-buru Abim meraih tangan mungil Sofia yang berada di meja. Ia menggenggam erat tangan halus itu.

"Katakan dengan jelas Sofia, kamu belum berkeluarga kan?" Secercah harap mampir di lubuk hati Abim.

"Belum." Kali ini Sofia berani menatap lebih lama wajah yang terlihat lebih dewasa itu. Seulas senyum mengembang dari bibir mungilnya yang berlipstik soft pink.

"Oh, terima kasih Tuhan," ucap Abim. Kelegaan tersirat dari wajah berbingkai kaca mata itu.

"Mas Abim, masih sendiri?" Sofia memastikan dugaannya.

"Aku masih sendiri Sofia. Semenjak kepergianmu aku tidak bisa melupakanmu, hatiku seolah tertutup dari perempuan lain," ucap Abim bersungguh-sungguh.

Jauh di lubuk hatinya, Sofia merasa lega dengan pernyataan Abim.

"Oh, ya bagaimana kabar Pak Pram?"

"Papa masih sehat, sedangkan Mama meninggal satu tahum yang lalu."

Mengalirlah cerita tentang keluarga Pramono dari bibir yang terbebas dari cemaran nikotin itu. Beberapa tahun yang lalu kondisi kesehatan Marina sang ibu makin memburuk. Sudah tak terhitung lagi ia keluar masuk rumah sakit karena kondisinya. Hingga akhirnya, ia memilih untuk dirawat di rumah dengan seorang care giver. Akan tetapi, dari waktu ke waktu kesehatan wanita yang tubuhnya bagaikan tulang berbalut kulit itu makin lama makin melemah hingga akhirnya ia menemui ajalnya di samping anak semata wayangnya.

Abim menarik napas panjang usai menceritakan mamanya. Raut mukanya kini berubah menyiratkan kesedihan.

"Kini, Papa tidak lagi memegang perusahaan. Semuanya diserahkan ke aku. Kepergian Mama seolah membuat Papa kehilangan separuh jiwanya."

Sofia memandang wajah Abim yang masih menunduk. "Benarkah apa yang diucapkan Mas Abim? Kenapa dulu Pak Pram tega ingin menduakan istrinya?" batin Sofia.

"Maaf, kalau pertanyaanku membuatmu sedih," ucap Sofia setelah mereka saling berdiam diri sesaat.

"Tidak apa-apa." Abim menyesap kopi hitamnya yang masih panas.

"Oh ya, apa kamu saat ini masih di dunia travelling?" Abim menebak usaha Sofia mengingat kehadirannya di pameran itu.

Sofia bergantian menceritakan keadaan dirinya usai kepindahan dari Jakarta. Ia menceritakan awal dari usahanya hingga kini mempunyai perusahaan travelling yang berkembang pesat.

"Bagaiman kabar ibumu? Sampai saat ini kamu belum juga mengenalkannya ke aku."

"Keadaan ibu sehat. Beliau sempat menjalani operasi beberapa tahun yang lalu."

Menepis Nista, Meraih AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang