Gianna's Story

4.2K 216 4
                                    

Namaku Gianna Ristiany

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Namaku Gianna Ristiany. Aku lahir di Bandung, 30 Oktober 2000. Aku adalah anak tunggal. Ayahku, Erlangga Surya Ali Gunawan merupakan seorang buruh di pabrik tekstil. Ibuku, Indira Atmariani merupakan seorang Ibu Rumah Tangga.

Kehidupan masa kecilku tidak jauh berbeda dengan anak-anak lainnya. Aku diasuh dengan penuh kasih sayang oleh kedua orang tuaku. Aku dibesarkan di rumah yang layak, makan tiga kali sehari, dan sesekali dibelikan mainan jika ada uang lebih.

Sayangnya, hidup normalku hanya bertahan sampai usiaku 9 tahun saja.

Di sore hari yang mendung, aku dan Ibu yang saat itu sedang menonton TV di rumah tiba-tiba diberi tau kalau Ayahku sudah meninggal dunia. Aku tidak tau persis bagaimana detail ceritanya, yang pasti penyebab kematian Ayahku adalah karena ledakan di pabrik tempatnya bekerja.

Kematian Ayahku yang tak terduga itu mau tak mau membuat Ibuku yang awalnya hanya seorang Ibu Rumah Tangga biasa mendadak harus jadi tulang punggung keluarga. Beliau mulai bekerja serabutan agar bisa terus memberiku makan dan menyekolahkanku.

Aku tau seberapa kerasnya perjuangan beliau agar kami berdua bisa melanjutkan hidup kala itu. Untuk mendapatkan uang tambahan yang nilainya tak seberapa, Ibu sampai rela berkeliling untuk menjadi tukang gosok baju di rumah para tetangga.

Namun upah dari pekerjaan yang tak menentu itu nyatanya tidak mungkin cukup untuk menutup kebutuhan hidup kami. Ibu jadi sering berhutang ke sana sini untuk membayar tagihan listrik dan tagihan air yang terus menunggak tiap bulannya. Di depan mataku sendiri, aku beberapa kali menyaksikan langsung ketika Ibuku dimaki-maki karena tak sanggup mengembalikan uang yang ia pinjam.

Dan begitulah bagaimana perlahan-lahan Ibuku mulai jatuh ke titik terendahnya. Ibuku yang semula penuh semangat jadi putus asa. Mulanya aku hanya sering mendengarnya menangis sendirian saat tengah malam, namun lama kelamaan Ibuku mulai menunjukkan keanehan.

Beliau mengurung diri di kamar hingga berhari-hari. Tidak mau bekerja, tidak mau makan, dan tidak mau bertemu orang lain. Saat itu aku masih belum mengerti jika Ibu membutuhkan pertolongan dari tenaga profesional. Satu-satunya hal yang aku tau, Ibuku sudah menyerah.

Akibatnya, Ibu jadi sakit-sakitan. Tak sampai setahun sejak kematian Ayah, Ibuku pun pergi menyusul belahan jiwanya.

Aku yang saat itu belum genap berusia sepuluh tahun kemudian terpaksa ikut tinggal dengan Bibi dan Paman. Awalnya tak ada yang salah dengan mereka. Meskipun mereka tak pernah memberiku perhatian, aku tidak keberatan. Aku paham pasti sulit rasanya mengasuh anak orang lain ketika mereka sendiri adalah pasangan yang baru saja menikah.

Tak lama setelah aku diasuh oleh Bibi dan Paman, malapetaka pun datang. Tiba-tiba saja ada orang menagih hutang atas nama orang tuaku. Entah, sampai sekarang aku masih tidak tau kiranya untuk apa orang tuaku dulu berhutang hingga ratusan juta pada lintah darat yang terkenal berbahaya.

Friends With Benefits [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang