Jika aku kembali ke musim panas setelah ulang tahunku yang kedelapan, aku masih bisa melihat matamu-
Maximillian meletakkan buku bersampul coklat itu di sampingnya. Sengaja ia biarkan terbuka di halaman pertama sembari memposisikan diri untuk duduk di depan kanvas.
Aku seringkali bertanya-tanya, pernahkah kau tersadar akan keindahan yang tersimpan di dalamnya?-
Dia mengambil sedikit warna coklat dari palette-nya dan menorehkan coretan pertama di atas kanvas dengan wajah tersenyum.
Setiap kata yang tertulis dalam buku harian itu selalu saja membuat dadanya tergelitik, terlepas dari berapa kali dia membacanya lagi dan lagi.
Aku ingin tahu bagaimana aku tergambar dari sudut pandangmu.
Rasanya aku ingin tenggelam dalam warna biru itu.
Bunyi dari dedaunan dan ranting-ranting pohon Ek yang tertiup angin memenuhi pendengaran Maximillian. Dia tidak membenci aroma rumput hijau yang terbawa masuk ke dalam studio gambarnya.
Pohon Ek itu kini memegang tempat yang spesial dalam memorinya, mengingat bahwa itu adalah tempat dari pertemuan pertama mereka.
"Kau memanjat pohon itu hanya demi seekor kucing, Elizabeth."
Pertama adalah cat putih untuk melukis kucingnya. Lalu kuning untuk rambut pirang dari si gadis kecil dalam kanvas, dan merah muda untuk gaunnya yang agak lusuh akibat noda dari tanah.
Benar, begitulah caranya mereka saling mengenal satu sama lain.
Ketika Maximillian Otho hanya bisa menggelengkan kepala karena mendapati seorang gadis asing sedang memanjat pohon Ek di halaman rumahnya. Dan sebaliknya, gadis itu, Elizabeth, hanya bisa berteriak meminta bantuan dari atas pohon untuk menolong seekor kucing yang terjebak di salah satu ranting.
"Aku ingin bertemu denganmu secepatnya," gumam Maximillian menghela napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Words We Have Not Yet To Said
RomanceAndai saja Maximillian menyadari bahwa ia adalah kanvas putih kosong dan Elizabeth adalah ribuan cat warna untuk menghiasnya, akankah Elizabeth masih berada di dunianya sekarang? Satu-satunya keinginan Maximillian hanyalah agar Elizabeth menginginka...