14

100 24 0
                                    

Dinda dan Matthew beradu tatap. Keduanya berhadapan, dibatasi rak tepung toko kelontong yang tingginya hanya mencapai pinggang Matthew. Bukan mimpi atau bayangannya saja, kini Matthew bisa melihat Dinda secara langsung setelah meminta Mang Aceng membawanya ke gang rumah Dinda yang berada di kawasan Pajagalan setelah jam kerja usai.

Matthew memang sudah gila. Ia mengakuinya. Dan Dinda yang terlalu terkejut akan kedatangan pria itu tidak bisa memungkiri rasa sesak yang muncul di dadanya, teringat informasi yang diberikan Dafa kepadanya beberapa waktu lalu.

"Kenapa, Matthew? Bukannya kemarin sud--"

"Aku mau nanya hal yang penting." Matthew memotong omongan Dinda yang menatapnya dengan nanar.

"Hal penting apa? Tentang kamu yang udah tunangan? Atau soal waktu itu?" Cecar Dinda membuat Matthew terkesiap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hal penting apa? Tentang kamu yang udah tunangan? Atau soal waktu itu?" Cecar Dinda membuat Matthew terkesiap. Pria itu langsung diam, menelan ludah dengan susah payah, tidak suka Dinda menyebut statusnya yang sudah bertunangan dengan perempuan lain pilihan kedua orangtuanya. Matthew tidak tahu Dinda tahu darimana, ingin heran tapi banyak teman SMA-nya yang tahu pula akan fakta itu.

"Din..."

"Matthew, kalau kamu mau ngajak aku balikan, udah jelas jawaban aku nggak. Semuanya udah clear dan aku nggak mau ngerusakin apa yang udah orangtua kamu rencanain." Kata Dinda tegas, cukup jelas hingga rahang Matthew mengeras.

"Kalau gitu, jawab aku jujur." Pinta Matthew kemudian, berusaha tenang meski hatinya sakit atas ketegasan Dinda yang menutup harapannya.

"Apa?"

"Kenapa kamu nggak ambil beasiswa ITB dari sekolah, Din?"

Kali ini Dinda yang terdiam, ia tidak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulut Matthew. Dari segala ekspetasinya, Matthew malah bertanya soal beasiswa yang ia tolak saat lulus SMA kala itu. Beasiswa yang sangat diinginkannya, tapi harus ia tolak karena suatu hal. Dinda masih mendongak, memandang Matthew yang tatapannya teramat lembut--yang membuat hatinya mencelus--hingga ia membuang muka.

"Aku harus kerja freelance waktu itu." Jawab Dinda pada akhirnya.

"Bukan karena beasiswa itu dari Papi, kan?"

Dinda tergagu, lagi-lagi Matthew mengeluarkan pertanyaan yang tidak ingin ia jawab.

"Dinda?"

"Ya. Kamu tahu sendiri." Kata Dinda dingin, pada akhirnya menjawab dengan jujur meski rasanya ingin menyimpan rahasia itu sendirian.

Matthew tidak bisa dibohongi pula. Pria itu tahu banyak hal. Ia punya banyak orang yang bisa disuruhnya ini-itu. Lagipula, tidak ada gunanya merahasiakan hal yang sudah lampau, semuanya sudah lewat dan hubungan Dinda dan Matthew sudah berakhir.

"Kenapa?"

"Kenapa?" Dinda mendelik pada Matthew.

"Iya, kenapa kamu tolak beasiswa itu? Toh, waktu itu kita juga sudah putus, kan? Kamu nggak punya alasan buat nolak kecuali kamu mau berjuang sama aku, Din."

Dinda mendengus, ia bersidekap di depan Matthew, memandang pria itu dengan dua mata yang tajam. "Aku lebih baik kuliah dengan uang aku sendiri daripada berhutang budi ke keluarga kamu, Matthew."

"Bukan karena kamu masih mau berjuang sama aku? Bukan karena kamu masih sayang sama aku, Din?"

Lidah Dinda tercekat. Matthew tampak serius, memajukan tubuh hingga lututnya tertempel di etalase. Kedua tangan Matthew juga berada di atas kaca rak etalase, menyamakan tingginya dengan Dinda yang refleks memundurkan langkah karena tidak ingin terlalu dekat dengannya.

"Dinda?"

"Nggak." Kata Dinda lalu berdehem pelan. "Aku hanya nggak mau berhutang."

"Hanya karena itu kamu nolak ITB?"

Dinda mengangguk, "ya, sudah, kan? Sekarang jangan temui aku lagi, Matthew. Cukup."

"Kamu nggak mau ngasih kesempatan buat aku mengusahakannya lagi, Din?"

Dengan tegas Dinda menggelengkan kepala. "Ingat tunangan kamu, Matthew."

"Aku bisa membatalkan pertunangan itu, Din. Aku nggak pernah suka atau cinta kepada perempuan itu. Aku cuma pengen kam--"

"Matthew, enough!"

"Din..."

"Pulang atau aku lapor ke Mami dan Papi kamu?"

Kening Matthew berkerut dalam. Ia menegakkan tubuh, memandang Dinda tidak percaya. Kesal pula karena perempuan yang masih bersidekap di hadapannya itu mengancamnya dengan hal yang berbahaya. Dinda tahu jelas kalau Matthew memiliki kekurangan yang sangat besar apabila berhubungan dengan kedua orangtuanya. Pria itu masih diatur dan tidak sebebas orang-orang seumurannya. Jadi, apa yang diancam Dinda mampu membuatnya menyerah.

"Aku akan coba membatalkan pertunangan itu, Din."

"Let's see..." Ujar Dinda dingin. "Let's see if you can say that to your parents."

~~~

Sejak berkuliah di Australia, sikap Matthew jadi lembek kepada kedua orangtuanya. Bukan karena merantau jauh, tapi karena Matthew sudah tidak punya semangat hidup setelah putus dari Dinda. Tidak ada yang bisa membuatnya keras kepala ingin berjuang mencari kebebasan. Tidak ada alasan yang membuatnya kembali hidup, maka dari itu Matthew terima-terima saja saat ditunangkan dengan Yona. Berpikir jika ia ingin menuntaskan keinginan kedua orangtuanya sebelum mati cepat.

Bertemu dengan Dinda setelah bertahun-tahun hidup dalam zona nyaman, Matthew kembali tertantang, apalagi kekecewaannya hilang setelah tahu alasan Dinda memutuskannya. Bukan materi. Bukan uang yang selama ini dianggapnya berasal dari Mami. Bahkan beasiswa ITB yang diberikan Papi-nya pun ditolak Dinda--meski alasan penolakannya bukan karena Matthew (tapi Matthew yakin Dinda masih ingin mengusahakan hubungan mereka karena itu).

"Ko, kemarin Mami nanyain kondisi Koko di restoran." Mang Aceng menyahut dari belik setir, melirik Matthew dari spion tengah yang masih memandang keluar jendela mobil dengan kosong.

"Kondisi?"

"Mami khawatir Koko kewalahan ngurus restoran."

Kedua alis Matthew hampir menyatu menatap Mang Aceng dari kaca spion, "bilang aja banyak yang harus dipikirin. Mang Aceng jangan bilang-bilang soal Dinda, ya."

"B-baik, Ko. Tapi, maaf ini teh... Mang mau tanya ke Koko." Kata Mang Aceng dengan penuh sopan-santun. "Ai... Koko teh balikan sama Neng Dinda atau gimana? Tunangannya sama Neng Yona udah berakhir gitu?"

Matthew sempat mematung mendengar pertanyaan-pertanyaan itu keluar dari Mang Aceng. Lalu ia menghela napas panjang, membuang wajah ke arah jendela dan menjawab dengan gusar. "Matthew mau mengakhiri tunangan sama Yona, Mang. Doain, ya, bisa ngomong sama Mami-Papi segera."

Mang Aceng kalang-kabut, bingung harus menjawab apa. Masalahnya ia tidak ingin melihat kekecewaan kedua orangtua Matthew, tapi di sisi lain Mang Aceng juga ingin mendukung Matthew yang memang tidak pernah terlihat bahagia setelah putus dari Dinda. Mang Aceng tahu, Matthew sangat mencintai Dinda dan jika pertunangan itu dibatalkan, Matthew bisa kembali berusaha bersama Dinda untuk mewujudkan hubungan yang lebih serius. Usaha yang akan sulit dilakukan, tapi anehnya akan membuat Matthew jadi lebih bahagia.

"Mamang doain yang terbaik, ya, Ko." Ucap Mang Aceng pada akhirnya.

"Iya, doain biar Matthew bisa balikan sama Dinda lagi, Mang."

Mulut Mang Aceng tertutup rapat. Pria itu hanya mengangguk sebagai akhir dari percakapan mereka malam ini.

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang