Hawa hampa, menegang. Layar kaca yang sedari tadi memecah suasana, mati menyisakan lima remaja duduk melingkar seperti akan melakukan persembahan mengirim teluh—tentu tidak. Mereka tengah membahas sesuatu tepat setelah Marley dan Jigar pergi.
"Matanya benar-benar tidak berhenti menelaah setiap ujung rumah," demikian ucapan Haikal dengan apa yang telah ia dapat pasca inderanya meneliti gerak-gerik Marley. Cara pria itu melabur rayu bahkan tidak segan membujuk cucu Mbah Arkan membawanya menelusuri rumah. Tolakan berbumbu candaan ia dapat.
"Hahaha, tidak ada yang spesial, Kak Mar, lagi pula untuk apa? Rumah Mas Janu bukan museum, kecuali kamu ingin melihat panci berpantat arang di dapur."
"Apa yang dia cari?" Naufal mengernyit
Mestilah ke-empat remaja ini yang lebih muda darinya serempak menggeleng. Pasalnya Marley membungkus rapi, tidak membiarkan tujuan utama terubrak-abrik .
"Ada hal yang ingin kukatakan," celetuk Cho
Atensi mereka seketika teralih, serius menunggu ucapan Cho selanjutnya.
"Kak Marley berbohong!"
"Soal apa?" Naufal bertanya.
"Jigar, dia bukan sepupu bahkan saudara yang memiliki ikatan apapun dengan Marley, aku mengenal Jigar dekat, sangat dekat. Dia temanku, lebih tepatnya sahabat karibku," intonasi ucapan kalimat rendah, namun membuat para penerima fakta terperanjat. Bagaimana bisa? Naufal beranjak mengambil map yang dibawakan Zara. Terpapar lembaran menampilkan senarai data. Beberapa memiliki tanda checklist dengan kolom lain bertuliskan tewas. Mereka 79 warga itu.
"Cho, aku menemukan nama Jigar, tapi di mana namamu dari 313 nama di sini?"
"Sedikit sekali!" ujar spontan Haikal menanggapi jumlah warga yang keluar dari mulut Naufal.
"Aku tidak sebodoh itu membeberkan nama asliku saat tahu darimana kalian berasal!"
Kemungkinan Cho adalah anak cerdik. Memiliki kalkulasi sebelum bertindak, sekali dalam keadaan genting.
***
"Apa yang kau dapatkan, Mar?"
Kepala Desa menyelidik. Tidak lupa cangklong yang selalu menemani. Mereka berada di ruang kerjanya."Tidak ada, yah."
Kepala desa menghela napas panjang, kegundahan menyelimuti dirinya.
"Dari pawakan, para bedebah itu mengatakan jika dia mirip dengan anak yang sering sekali ke sini, siapa lagi kalau bukan cucu-cucu Mbah Arkan!?" Ia menghisap ujung cangklong, menghembuskan asap memenuhi udara, menikmati.
"Keluarlah, Mar, panggilkan Kirei di bawah!"
Pesan Marley sampai pada kirei yang tengah duduk di sebuah kamar ruang bawah tanah. Ia gercap menemui pak kepala desa, berjalan angkuh bermuka datar, melewati lorong-lorong rumah. Seketika muka berubah semringah kala memasuki ruangan. Seperti ada tombol switch dalam dirinya. Ia duduk di tempat Marley tadi.
"Apa kamu pernah keluar?"
"Tentu tidak, Pak," jawabnya dengan nada kalem.
"Aku peringatkan, Kirei, kamu milikku, bahkan sebelum suamimu mengikat dengan pernikahan, kau sudah menjadi milikku lebih dulu, aku membeli jalang sepertimu untuk tunduk, mengikuti segala perintah. Dahulu kau sudah melakukan kesalahan fatal dengan terjerat asmara bodoh dengan lelaki itu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Utopia 2014 || The Prologue [End]✔️
ActionEmpat remaja dari sebuah desa terpencil nyaris terlupakan, mereka menjalani hidup sebagai siswa SMA serta si bungsu sebagai siswa SMP. Sistem SMA di mana beberapa murid akan dikirim sebagai sukarelawan desa lain. Dan merekalah yang diutus. Mereka m...