Akhir

444 30 0
                                    

"Sebelum membuka bab baru, bab sebelumnya harus diselesaikan dulu bukan?"

Kita sama-sama pergi, setelah menghabiskan semangkuk bakso di perempatan kota, siang itu. Aku ingat, hari itu kamu menghabiskannya terlalu cepat, sedang aku menyisakan banyak hal dalam mangkuknya. Entah karena kamu sangat menyukainya, atau karena kamu ingin mencoba makanan lain setelahnya, karena aku tahu padaku kau tak akan merasa kenyang.

Perasaan terhadapku kau habiskan begitu saja dengan cepat dari dadamu, sedang aku setelah kepergianmu menyisakan banyak perasaan dalam dadaku.

Pertemuan pertama kita tentu saja bukan di tempat biasanya kita membeli dua mangkuk bakso. Entah bagaimana, hari itu menjadi hari yang paling aku ingat. Namanya Kaivan, dengan mata teduhnya dia menatapku malu di sebuah cafe tempat aku mengisi acara pembacaan puisi setiap malam sabtu.

Sejak hari itu kita menjadi semakin dekat, dia adalah tipe yang suka bercerita dan aku mendengar. Kita punya banyak kesamaan, dan hal itu menambah rasa nyaman di antara kita. Mungkin, itu salah satu hal yang membuat kita berpisah, kita terlalu banyak samanya, sampai tidak bisa saling menghargai perbedaan yang ada.

Di hutan kota, tepat di pinggir danau tempat biasa kita duduk dan sibuk dengan pikiran masing-masing, Kaivan menyatakan cintanya.

"Aku mencintaimu."

Aku menoleh ke samping, dan mata kita bertemu. Belum satu bulan kita mengenal, dia tiba-tiba mengatakan bahwa dia mencintaiku. Aku memang cukup nyaman menghabiskan waktuku bersamanya akhir-akhir ini, tapi aku tidak yakin telah memiliki perasaan yang sama. Aku tidak akan bertanya mengapa dia secepat itu mencintaiku, karena aku tahu tidak ada yang tahu bagaimana perasaan bekerja.

Aku tersenyum menanggapi pernyataannya. Dia memang tidak mengatakan apapun, saat aku tidak membalas perkataannya, tapi aku harap dia mengerti, bahwa aku perlu waktu meyakinkan diriku atas perasaan yang ada dalam dada. Kaivan menggengam tanganku, merebahkan kepalanya di pundakku. Aku mengelus pelan kepalanya.

Kita adalah mahasiswa semester 5. Dia kuliah di luar kota, sedangkan aku kuliah di sini, di kota ini. Libur semester kali ini lumayan panjang, sisa satu bulan lagi sebelum aku berpisah dengan Kaivan, karena nanti dia harus kembali kuliah di luar kota.

Malam sabtu, setelah penampilanku di cafe yang biasanya aku datangi bersama Kaivan, kita berdua duduk sembari menikmati secangkir matchalatte. Sudah kubilang kita punya banyak kesamaan bahkan soal minuman.

"Ada yang menelponmu," ujarku saat mendapati handphonenya bergetar, sedangkan dia fokus melihat ke arah jalanan. Dia mengangkat teleponnya, aku menatapnya menunggu pembicaraan apa yang akan mereka bahas, karena tidak sengaja aku melihat nama wanita yang menelponnya tadi.

"Iya, Bella." Jawab Kaivan dengan lembut. Entah kenapa aku kesal mendengarnya, apakah dia selalu menjawab telepon lawan jenis dengan lembut seperti itu?

Lalu, tiba-tiba saja datang dua perempuan tinggi dengan rambut berwana coklat ke arah meja kami. Mereka tersenyum ke arah Kaivan.

"Kai!"

"Hai, Bel."

"Tuh, kan. Bener aku bilang yang aku lihat dari luar itu kamu, Kai. Haha aku takut salah lihat tadi." Ujar salah satu perempuan bernama Bella.

Bella menunjukku sambil tersenyum, seolah berkata pada Kaivan, 'siapa dia?'

"Ini, Nirwana. Temanku."

tch, ternyata aku hanya dianggap teman oleh Kaivan. Padahal sejak kemarin, setelah pernyataan cinta itu, dia memanggilku sayang. Menyebalkan.

Aku menunggu mereka mengobrol sekitar 5 menit, walaupun aku tidak mengerti pembahasannya.

"Kamu, masih ingat temanku? Dia bilang kamu mirip mantannya." Ujar perempuan bernama Bella. Aku menoleh ke arah Kaivan, dia bukan tipe wajah yang banyak miripnya sama orang lain, kecuali kalo itu orang korea, karena jujur wajah Kaivan, sangat mirip dengan aktor korea bernama Choi Wooshik.

Eternal SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang