Bagian 4.1

39 3 0
                                    

Bisnis makanan sudah terjadi turun temurun di keluarga. Berawal dari makanan khas Indonesia yang laku keras di Jerman, membuat Nenek moyangku dari pihak Mama mempunyai restoran sendiri di negara maritim ini. Restoran ini sudah berdiri lebih dari lima puluh tahun. Kini, Papa yang mengurusnya.

Sebuah kebetulan yang mendatangkan rezeki. Dulu, Nenek moyangku terdampar di Jerman saat dibawa paksa oleh orang Inggris. Karena tidak bisa memasak seperti orang barat, beliau memasak makanan khas Indonesia. Dari situlah banyak orang barat yang jatuh cinta dengan rempah rempah.

Dari banyaknya penggemar, beliau memilih seorang pemuda asli Jerman. Garrick Hoffman, seorang petani yang menjadi pencetus gen barat yang berada di tubuhku. Lalu berlanjut sampai aku dan anakku.

Hal itu sudah menjadi dongeng turun temurun di keluargaku. Bahkan aku dan sepupu sepupuku yang lain sudah hafal di luar kepala. Mungkin sepertinya dongeng itu akan terus berlanjut. Karena kini aku mulai ikut berjualan makanan seperti nenek moyangku dulu. Bedanya, aku harus memulai sendiri dari nol.

Begitu fajar menyingsing, aku sudah siap menata barang daganganku di gardu. Sebelumnya, Nenek May sudah meminta perizinan kepada ketua RT di sini. Beliau banyak membantu untuk urusanku. Contohnya, tadi pagi beliau juga ikut membawakan daganganku ke gardu.

Aku dan Nenek May berangkat pukul lima pagi. Aku tidak memasak banyak lauk, hanya beberapa macam tumisan dan balado, selebihnya nasi putih dan nasi uduk. Aku memilih menjual nasi uduk karena memang disini jarang terlihat orang yang berjualan makanan itu. Siapa tau rezekiku akan datang. Aku hanya berharap.

Setelah semuanya siap, aku mulai menunggu pelanggan sendiri. Walaupun masih sedikit gelap, setidaknya gardu ini mempunyai lampu kuning sebagai pencahayaan tambahan. Mungkin sebentat lagi para petani akan lewat, aku hanya butuh kesabaran.

Benar saja, tidak sampai sepuluh menit beberapa petani tampak berjalan bersama. Mereka membawa cangkul dan caping, ada juga yang membawa golok. Tampaknya mereka sedikit melihat ke arahku.

"Silahkan Pak, nasi rames dan nasi uduknya. Murah kok pak, 10 ribu saja sudah dengan lauk dan sayurnya" aku tersenyum sembari menawarkan makanan.

Tapi memang sepertinya belum rejekiku. Mereka hanya tersenyum dan mengatakan tidak kemudian berlalu pergi. Tidak apa, percobaan pertama tidak selalu berhasil bukan?

Setelahnya, beberapa orang mulai banyak yang lewat. Tapi dari mereka hanya tersenyum tanpa membeli. Rasanya aku ingin menangis sekarang. Mama dan Papa selalu sibuk mengurus restoran keluarga untuk tetap mempertahankan dan memperluas pelanggan. Kini aku merasakan kesulitan mereka.

"Sabar ya baby... Semoga rezeki kita sebentar lagi datang" Ucapku lirih sambil mengelus perut rataku.

Tiba tiba ponselku bergetar. Lauda mengirimku banyak sekali pesan mengatakan kalau dia semalam bertemu dengan idolanya dan melakukan pemotretan bersama. Aku tersenyum lebar dan mengucapkan selamat.

"Halooo Annelisekuu.. "

"Iya La... Bagaimana perasaanmu sesudah bertemu Anjeli Karista?"

"Ah.. Rasanya aku sangat lemas. Dia wanita yang mempunyai aura seperti ratu"

"Kau harus menirunya kalau begitu"

"Sepertinya aku tidak bisa Anne. Semalam saja aku kelepasan meloncat loncat karena terlalu senang"

"Aku tahu kau terlalu bar bar untuk seperti dia."

"Hehehe... Apakabar keponakanku hari ini Anne?"

"Syukurnya, hari ini aku tidak mengalami morning sickness yang parah"

"Aku lega mendengarnya. Oh iya, kata Nenek mulai hari ini kau berjualan nasi bungkus, betul Anne?"

"Iya... "

"Seharusnya kau fokus dengan kandunganmu Anne. Kalau masalah biaya aku pasti akan membanti kalian. Aku tidak tega melihatmu bersusah payah mencari uang seperti ini"

"Aku sehat La.. Sangat sehat. Aku malah senang karena itu membuatku mempunyai aktivitas"

"Tapi Anne.... "

"Aku akan baik baik saja La.. "

"Baiklah.. Pokoknya kalau ada sesuatu langsung menghubungiku"

".... "

"... Anne, kita lanjutkan nanti ya. Aku harus bersiap karena jam 7 akan di jemput. Bye Anne"

"Bye Laa.. "

Aku menutup telfon dengan senyum mengembang. Entah bagaimana reaksi Lauda kemarin. Gadis itu memang bar bar dan jauh dari kata anggun walaupun dia seorang model.

Sejenak aku melirik ke arah daganganku yang belum terbeli. Setelah menunggu sejam, kini makananku belum tersentuh. Aroma hangatnya pun sudah hilang. Baiklah, mungkin aku harus bersabar dua jam lagi. Aku akan pulang pukul delapan nanti.

Beberapa ibu ibu yang lewat tampak melirikku. Mereka membawa ember cucian yang akan di cuci di sungai dekat sini. Aku diberitahu Nenek May tadi, mugkin saja aku membutuhkan air bersih. Sungainya pun terlihat jernih dari sini. Benar benar masih alami.

"Mbak.. Mbaknya di situ jualan?" Tanya seorang wanita berumur 30 an.

"Iya bu. Baru hari ini"

Segerombolan ibu ibu yang membawa cucian tadi nampak penasaran. Mereka mendekat dan mengelilingi gardu. Aku tersenyum dan membuka tutup daganganku.

"Ada nasi uduk, nasi putih, tumis kangkung, telur dadar, dan ayam goreng bu" Jelasku.

"Tidak ada orek tempe?"

"Ada bihun?"

"Kenapa tidak ada ikan?"

"Kebetulan saya baru jualan bu. Jadi baru membawa sedikit" Jawabku menahan kesabaran dengan pertanyaan Ibu ibu itu. Pembeli adalah raja.

"Ya sudah... Saya beli nasi uduknya, belum pernah makan. Tapi diambil nanti setelah saya nyuci baju"

"Iya bu, sebentar ya bu"

Dengan semangat aku menyiapkan pesanan ibu itu. "Mau pakai lauk apa bu? "

"Semuanya aja. Eh... Ini berapa?"

"10 ribu satu porsi bu. Untuk tiga lauk dan sambal"

"Saya satu juga deh Mbak"

"Iya bu"

Perlahan kerumunan di gardu mulai pudar. Ibu ibu tadi menuju sungai dengan masih membicarakanku yang baru terlihat akhir akhir ini. Aku hanya tersenyum simpul.

Pelan pelan aku harus beradaptasi di sini. Kehidupan di desa yang terbatas jumlah penduduknya membuat mereka kenal satu sama lain. Beda dengan kehidupanku di kota yang jauh dari kata bersosialisai dengan tetangga. Bahkan aku tidak tahu wajah tetanggaku seperti apa. Individualis.

Terlepas dari itu, setidaknya pagi ini jualanku sudah laku dua bungkus. Sisanya entah akan di jual dekat rumah atau aku dan Nenek May makan. Akan aku pikirkan nanti.

Perhatianku teralih kembali saat melihat ibu ibu tadi tampak bahagia mencuci baju sembari mengobrol. Mereka sesekali tertawa, sepertinya mereka sedang menggosip. Ternyata kebahagiaan bisa datang dari hal kecil.

Dulu aku juga pernah merasakan kehangatan seperti itu. Di saat aku kecil, Mama dan Papa pernah menemaniku berenang. Saat itu kami hanya tertawa dan bermain air. Tapi rasanya hari itu kami sekeluarga bahagia. Dan keesokannya kami kembali sibuk dengan urusan masing masing.

"Aku rindu Mama dan Papa" Lirihku berusaha menahan air mata yang ingin sekali tumpah. Entah kenapa hormon kehamilanku membuatku lebih cengeng dari biasanya.

-Kopi Susu-

To be continue

Salam hangat, Fi.

Terimakasih untuk liliveronica09
Yang sudah setia memberikan Votenya.

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang