"Hanya tinggal luka-luka luar yang sebentar lagi pasti mengering. Jadi, pasien sudah diperbolehkan pulang jika kantung infusnya sudah habis."
"Baik. Terimakasih, Dok."
Suara Esya yang ceria sudah kembali, ucapan terimakasihnya menjadi sapaan ketika Dery pertama kali membuka mata dari tidur malamnya.
Tepat setelah dirawat selama tiga hari, kemarin Esya sembuh dari demam yang cukup tinggi. Dan hari ini Dery dapat pulang, tentu Esya sangat senang dapat segera pergi dari bangunan dengan aroma obat-obatan yang membuatnya berulang kali merasa mual.
"Gue dah boleh pulang, ya?"
Suara Dery yang tiba-tiba terdengar di indra pendengarannya membuat Esya tersentak kecil.
"Ngagetin aja." Ucap Esya pelan sambil mengelus dadanya pelan.
Esya berjalan pelan ke arah Dery yang sejak dua hari kemarin sudah melepas masker oksigennya. Bahkan perban di tubuhnya juga sudah dilepas, memperlihatkan beberapa bekas luka.
"Iya, lo boleh pulang kalau cairan infusnya dah habis." Kata Esya menjawab pertanyaan Dery tadi.
"So, lo gak mau ceritain tentang ayah gue kemana? Gue udah nahan buat tanya hal ini dari tiga hari lalu. Lagipun, gue dah inget tentang adik gue yang meninggal karena Leukimia."
Dery memposisikan tubuhnya untuk duduk bersandar pada headboard ranjang pesakitannya. Tatapannya menelisik wajah cantik Esya yang nampak tegang setelah mendengar perkataannya.
Huuhh
Hembusan nafas gusar terdengar dari sang gadis cantik. Esya mendudukkan tubuhnya di kursi samping kanan ranjang pesakitan Dery. Matanya menatap lekat pada wajah pemuda di hadapannya, perasaan rindu membuncah dengan tetiba dalam hatinya.
"Meninggal."
Satu kata dengan berbagai duka yang menyertai, air mata tak lagi dapat ia tahan ketika melihat wajah Dery yang nampak terkejut dengan fakta tersebut.
"Gak mungkin, haha lo jangan bercanda."
Tawaan miris berasal dari mulut Dery, kepalanya menggeleng pelan. Mencoba untuk tak percaya pada ucapan gadis bernama Esya tersebut. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa hatinya tak baik-baik saja setelah mendengar satu kata tersebut.
"Gue gak pernah bercanda ama hal kayak gini."
Satu kalimat bernada sendu keluar dari mulut Esya juga linangan air mata yang dapat Dery lihat jelas membuatnya tertampar kenyataan.
Ternyata benar, semua ini bukan hanya candaan semata. Tolong siapapun bangunkan Dery dari mimpi buruk ini.
Setelah kemarin mendapatkan ingatan dari tubuh yang kini menjadi miliknya, tentang sang adik dengan nama yang sama seperti adiknya dulu meninggal karena leukimia.
Sekarang dirinya dihadapkan fakta bahwa sang ayah di dunia ini juga telah meninggal, berarti sekarang dirinya sebatang kara bukan? Kemudian untuk apa dirinya ini masih hidup?
Tatapan Dery berubah kosong dan hampa. Meratapi nasibnya yang sungguh menyedihkan. Ia kira dirinya mendapatkan kesempatan kedua dengan kehidupan yang lebih baik.
Sayangnya di kehidupan kedua sekalipun, ia masih menjadi seorang yang memiliki nasib menyedihkan. Apakah ini karma untuknya atas sikapnya kepada sang adik dahulu?
Pikirannya bak benang kusut, sungguh rumit. Kekosongan mengisi relung hatinya, berdampingan dengan rasa bersalah yang membuncah.
Matanya ia pejamkan erat, meski sang air mata tak dapat berhenti mengalir karenanya. Namun, kesadarannya kembali hadir. Matanya terbuka kala merasakan hangatnya genggaman di tangan kanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Esya {end}
RandomRenesya, gadis dengan senyum ramah walau takdir mempermainkannya dengan berbagai luka dihati. Bertransmigrasi ke tubuh tokoh favoritenya dengan takdir yang tak jauh beda, apakah ia sanggup menjalaninya? Kejanggalan mulai terjadi, alur novel pun beru...