Dareen menghempaskan tasnya dengan keras. "Kenapa gue masih harus merasa secanggung ini sih dengan dia?" tanyanya pada diri sendiri. Begitu juga dengan Nadira yang menghentakkan kakinya di toilet.
"Kenapa juga harus secanggung ini sih?" tanya Nadira.
Keduanya sama-sama menghembuskan nafas di tempat masing-masing. Mau bagaimana lagi hal ini sudah terjadi dan tak ada yang bisa diubah kembali. Kecuali ... masing-masing dari mereka menurunkan ego mereka lagi.
Nadira memilih untuk singgah ke cafe tempat ia bekerja nanti malam untuk mengerjakan revisian yang diberikan Pak Abdul. Roman-romannya akan seharian di cafe ini, pikir Nadira.
Di sudut cafe, Nadira memperhatikan jalanan yang dilewati oleh banyak kendaraan. Sudah hampir 30 menit ia menatap kosong jalanan dan laptop yang sudah menyala itu. Sejujurnya, di hati yang terdalam, ia ingin sekali bertemu Dareen dan berbincang banyak hal bersamanya.
"Ah, mungkin karena hidup gue akhir-akhir ini terlalu sering sama dia. Makanya ketika dia enggak ada, gue jadi begini," ucapnya bermonolog.
Pikirannya membawanya teringat kembali di masa itu dan di malam itu, di mana kursi yang ia duduki juga tempat di mana pertama kalinya ia bertemu Dareen pada saat beberapa waktu yang lalu. Masih teringat jelas di pikirannya saat itu ada pengunjung yang ingin menyatakan cinta saat itu.
Jika diingat kembali masa itu, Nadira sudah sangat mengerti jika dosennya itu sudah cukup lama duduk di kursi itu. Hanya saja, ia tak memiliki keberanian untuk menyapa Dareen terlebih dahulu. Maka dari itu dengan cepat ia melangkahkan kakinya menuju toilet.
Bukan tak terdengar olehnya sapaan Dareen malam itu, suara yang begitu keras dan dalam, bagaimana mungkin tak terdengar oleh Nadira. Bahkan suara keluhannya, "ah, kampret." itu pun terdengar jelas di telinganya.
Sorry, Pak Dareen. Nyali saya begitu kecil saat itu.
Ia mengatur nafasnya yang begitu menderu cepat dan akibat dari rasa ingin cepat kabur dari dosen yang begitu random datang ke kehidupannya. "Harus gimana gue nanti? Balik ke dalam pasti ngelewatin tuh dosen absurd." Nadira bertanya pada dirinya sendiri.
Pada akhirnya, Nadira keluar dari toilet tersebut dengan langkah mantap. Dapat ia lihat bahwa Dareen sepertinya menunggu ia melewatinya. Dengan secepat kilat, Dareen mengalihkan pandangannya ketika melihat Nadira kembali masuk.
"Nadira?"
Masih teringat jelas sapaan Dareen yang terdengar seperti terkejut namun sangat terlihat dibuat-buat. Kalau diingat kembali, rasanya ingin sekali Nadira tertawa kencang di hadapannya. Tak mau kalah drama, Nadira juga memasang raut wajah terkejut dan menatap Dareen, "Pak Dareen?"
Nadira tertawa pelan sembari memori itu masih terputar dengan sangat jelas.
"Saya nggak ngikutin kamu kok. Kebetulan kepengen ke sini aja tapi tadi saya harus balik lagi ke mobil karena ada urusan gitu." Dareen sangat amat berusaha menjelaskan sesuatu yang tak pernah Nadira minta.
Tak lupa dengan momen di mana Dareen memaksa dirinya untuk mengaku bahwa ia berulang tahun. Jika diingat kembali, ulang tahunnya baru saja lewat beberapa hari dan Nadira teringat.
Pasti dia sudah lebih dahulu mencari tahu tentang dirinya sesudah sesaat kepergian orang tuanya.
Air matanya turun begitu saja. Ternyata banyak hal yang sudah Dareen lakukan untuknya. Dunia Nadira yang begitu runtuh dan gelap setelah kepergian kedua orang tuanya menjadi cerah kembali dengan kehadiran Dareen.
Benar adanya jikalau semua yang terjadi atas orang tuanya dan Dareen itu bukan hal yang ia inginkan. Tetapi siapa yang dapat melawan takdir yang sudah digariskan?
Dari situ Nadira yakin bahwa Dareen mendapatkan sebuah pelajaran yang berharga di dalam hidupnya. Untuk itulah Dareen hadir di kehidupannya.
Semua rasa tawa, perilaku yang begitu membuat Nadira gemas serta bahagia itu terukir indah di lubuk hatinya. Tak pernah sedetikpun Nadira merasa menyesal akan kehadiran Dareen. Bahkan gadis itupun memilih untuk memaafkan Dareen dan ia juga sudah ikhlas dengan semua yang terjadi.
"Ibu negaraku,"
"Nadira,"
"Ra,"
Semua panggilan yang Dareen sebut terasa begitu manis di telinganya. Mau
Rasa rindu ini semakin membuncah. Nadira tak ingin berlama-lama. Kali ini, ia yang akan menurunkan rasa egonya dan akan mengajak Dareen untuk memperbaiki semuanya. Sudah cukup selama ini selalu Dareen yang memulainya.
Dengan cepat Nadira mengambil ponselnya dan mengirim pesan untuk Dareen, seseorang yang berharga untuknya.
Nadira Alodie Kusuma
Kalau masih sayang,
temui saya di cafe tempat bapak modusin saya.***
Dareen menatap Nadira yang duduk dihadapannya dengan tatapan bingung. "Ada apa ini sebenarnya?" tanya Dareen dalam hati. Gadis itu terus-terusan menatap Dareen dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
"Pak Dareen, apa kabar?" tanya Nadira basa-basi.
"Cukup berantakan setelah malam itu," jawab Dareen jujur.
Nadira tersenyum lembut, "Maafin saya atas sikap saya selama ini sama bapak ya."
"Seharusnya saya yang minta maaf, Ra. Saya yang secara nggak langsung melepas kamu begitu saja. Saya merasa saya sangat jahat sama kamu, saya merasa nggak layak buat kamu. Sa-saya—"
"Masih panjang ocehannya?" potong Nadira.
"Pak, saya sudah bilang malam itu kalau ini semua sudah jalannya. Ketika saya bilang saya ikhlas, saya sudah benar-benar ikhlas. Tetapi saya nggak nyangka kalau kalimat itu keluar dari mulut Bapak. Apa selama ini saya hanya lelucon buat bapak?" sambung Nadira dan dengan cepat Dareen menggelengkan kepalanya tak setuju.
Nadira menghela nafasnya, "Saya bersyukur karena kehadiran Bapak. Memang mungkin berawal dari sebuah kejadian yang nggak mengenakkan, tapi saya menyadari bahwa semua ini menghadirkan warna kembali dalam hidup saya, Pak."
"Saya bersyukur punya seseorang yang begitu berharga selain dari kedua orang tua saya. Dan itu adalah kamu ... mas."
Dareen terdiam mendengar Nadira yang memanggilnya dengan sebutan 'mas'.
"Selama ini selalu mas yang berjuang dan berusaha. Kali ini, saya yang mau berusaha buat mas. Itupun kalau Mas Dareen masih mau. Kalau enggak ya ijinkan saya untuk menghilangkan semua perasaan ini," ucap Nadira.
Dengan cepat Dareen berdiri dan memeluk erat gadis itu. Semua yang ia lakukan dalam hidup Nadira memang murni karena perasaaannya kepada Nadira. Walau memang tercampur dengan rasa bersalahnya. Tapi semua yang ia lakukan ke Nadira bukan hanya karena rasa bersalah.
Perasaan Dareen juga sangat nyata untuk Nadira.
Bagaimanapun ia juga merasa Nadira adalah seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya. Dan sama halnya dengan Nadira, hidup Dareen kembali berwarna setelah kehadiran Nadira.
Nadira tersenyum lembut membalas pelukan erat Dareen.
"Jangan pernah merasa mas nggak cukup baik untuk mas. Terima kasih karena sudah hadir dihidupku, mas." Nadira mengusap lembut punggung Dareen.
Dareen melepas pelukannya dan menatap Nadira dengan tersenyum lembut, "I reallly thank God for you."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Absurd Lecturer [COMPLETED]
Romance[SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE, FOLLOW SEBELUM MEMBACA] sebuah kisah yang mungkin terlihat sederhana, namun percayalah, kita tahu bahwa setiap masalah selalu ada alasan, dan setiap kali masalah itu kerap datang, komunikasikanlah. .. "Sebenarnya tadi sa...