Inara 10

236 24 4
                                    

Pak Atmaja mendekat dengan langkah tegap. Tanpa aba-aba laki-laki yang memakai stelan jas berwarna hitam itu melayangkan tinjunya kepada Andika. Andika yang tidak menyangka sama sekali akan dipukul oleh papa dari kekasihnya itu terhuyung dengan mata berkunang-kunang. Andika berusaha untuk kembali berdiri tegak, tetapi belum lagi tubuhnya berdiri sempurna, satu pukulan keras kembali melayang ke pipinya. 

“Jangan pernah muncul lagi di hadapanku dan di hadapan Inara!” Pak Atmaja menunjuk wajah Andika dengan wajah merah padam.

“Pa, ayo, kita pergi. Jangan kotori tangan Papa.” Zain berusaha menarik tangan mertuanya itu untuk menjauh dari hadapan Andika. Zain tidak ingin emosi Pak Atmaja yang meledak-ledak akan berakibat buruk bagi kesehatan laki-laki itu. Pak Atmaja menarik napas dalam berusaha menenangkan dadanya yang bergemuruh, lalu mengikuti Zain meninggalkan laki-laki yang telah menghancurkan hidup anak gadisnya itu.

Andika menghapus lelehan di sudut bibirnya yang terasa asin. Dua kali ia mendapatkan mendapatkan bogme mentah dari orang-orang terdekat Inara. Dan itu cukup membuat kebencian di hatinya pada keluarga kekasihnya itu semakin bersemi. Andika mengepalkan tangannya dan berbalik meninggalkan kamar Inara. Keinginannya untuk membezuk kekasihnya itu sudah lenyap, berganti dengan rasa panas yang memenuhi rongga dada. 

Sementara Zain dan Pak Atmaja telah sampai di parkiran. Zain menyalami mertuanya itu dengan sopan.

“Papa harus bisa mengontrol emosi. Emosi berlebihan seperti tadi tidak baik untuk kesehatan Papa.” 

“Papa nggak bisa menahan diri, Nak. Dia yang telah menghancurkan hidup dan masa depan Inara.”

“Iya, Pa. Aku mengerti. Tetapi, besk-besok biar aku aja yang menghadapinya. Papa nggak perlu mengotori tangan Papa.”

“Baiklah, Nak. InsyaAllah akan Papa ingat pesanmu.” Pak Atmaja tersenyum penuh haru. Zain begitu baik. Harusnya anaknya bersyukur mendapatkan laki-laki sebaik Zain.

“Zain pamit, ya, Pa. Papa hati-hati di jalan.”


“Iya, Nak. Kamu juga hati-hati.”


“Baik, Pa.”


Mereka lalu naik ke mobil masing-masing. Zain menuju rumahnya sementara Pak Atmaja menuju kantor.


***


Esok harinya, Inara diperbolehkan pulang. Bu Nadya ikut mengantar ke rumah mereka. 

Sampai di rumah, Bi Jum dan Amelia telah menyediakan makan siang. Zain langsung mengajak Inara dan Bu Nadya untuk menikmati hidangan yang telah tersedia di meja makan. Amelia melayani mereka dengan senang hati. 

“Ini jusnya, Mas.” Amelia meletakkan gelas berisi jus semangka di hadapan Zain.

“Makasih, ya.” Zain tersenyum pada Amelia. Amelia mengangguk sopan. Bu Nadya dan Inara memperhatikan interaksi keduanya dengan pikiran masing-masing.

“Ibu dan Mbak Inara mau jus semangka juga?” Amelia yang melihat tatapan lekat Bu Nadya dan Inara kepadanya menjadi tidak enak hati.

Hijrah Cinta InaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang