Hari Minggu pagi, Bu Nadya sudah sampai di rumah Zain dan Inara. Bu Nadya mengajak Inara untuk membeli perlengkapan bayi. Tetapi, Inara yang memang tidak peduli dengan calon bayinya, menolak ajakan mamanya itu.
“Ini sudah masuk bulan ke delapan, Nara. Dan kamu belum memiliki persiapan apa-apa. Kalau bayimu tiba-tiba lahir bagaimana?”
“Aku capek, Ma. Aku mau tiduran aja hari ini di kamar.”
“Terus perlengkapan bayimu gimana?”
“Mama aja yang bantu belikan. Mama kan sudah pengalaman.”
“Mama heran lihat kamu. Nggak ada pedulinya sama bayimu. Padahal itu kan anak kamu sendiri.”
“Sudahlah, Ma. Aku nggak ingin berdebat. Mama pergi sama Amelia aja. Biar Amelia yang bantu Mama pilih-pilih dan bawa belanjaan.”
Zain yang sedang duduk di ruang keluarga, bangkit dan berjalan menuju meja makan.
“Ma, biar Zain yang antar Mama beli perlengkapan bayi.”
“Eh, nggak usah Zain. Mama pergi sama Amelia aja naik taksi online.” Bu Nadya menatap Zain dnegan perasaan tidak enak.
“Nggak apa-apa, Ma. Kan hari ini hari libur, Zain nggak ke mana-mana juga.” Zain tersenyum mencoba meyakinkan mama mertuanya.
“Benaran nggak ngerepotin?”
“Benaran, Ma. Aku siap-siap dulu, ya, Ma.”
“Okey, Zain. Makasih, ya.”
“Rencana mau nyari di mana, Ma?”
“Di mal terdekat aja.”
“Okey, Ma.”
Zain meninggalkan ruang makan menuju anak tangga dan naik ke kamarnya.
“Tuh, ditemanin menantu Mama.” Inara menyunggingkan senyum mengejeknya.
“Kamu ini, ya, bukannya berterima kasih malah mencela.” Bu Nadya geram melihat kelakuan Inara yang nggak pernah berubah.
“Siapa yang mencela, Ma. Aku malah senang ada yang bisa antar Mama, karena aku nggak bisa antar. Eh, aku panggilin Amelia dulu, ya, Ma.” Inara bangkit dengan senyum puas di ujung bibirnya.
Sebenarnya Bu Nadya kurang setuju Amelia ikut dengannya, karena ada Zain juga. Tetapi, ia berpikir kalau ia memang butuh bantuan untuk memilih dan membawa barang belanjaan nanti ke mobil.
Pukul 09.30, mereka bertiga pun berangkat menuju salah satu mal di kawasan Jakarta Selatan.
Sementara Inara masuk ke kamarnya dan bersiap juga untuk pergi ke luar. Ia ada janji dengan Andika dan teman-teman kuliahnya yang lain. Seperti biasa mereka akan nongkrong di kafe sampai sore. Kehamilan dan perut besarnya ternyata tidak menghalangi aktivitasnya untuk jalan dan kumpul-kumpul dengan Andika serta teman-teman dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta Inara
Hayran KurguKarena kesalahan yang dilakukannya, Inara harus menikah dengan Zain, laki-laki pilihan papanya. Namun, pernikahan itu tidak berlangsung lama, karena mereka sama-sama menyerah. Inara yang masih dengan sikap bebasnya, dan Zain yang merasa gagal mendid...