Inara 12

456 30 5
                                    

Zain memandang bayi mungil yang baru selesai diazankannya. Entah mengapa, hatinya  dan tidak bergetar ketika pertama kali tangannya menyentuh bayi laki-laki berparas tampan itu. Tiba-tiba ia langsung jatuh cinta. Bayi berwarna merah itu terlihat lemah dan tidak berdaya. Seketika itu juga, Zain bertekad dalam hati akan menjadi ayah dan pelindung untuk bayi Inara itu. 

Inara telah dipindahkan ke ruang perawatan. Ketika perawat menanyakan apakah ia akan memberikan asi ekslusif, Inara menggeleng. Zain merasa kaget dan ingin protes. Tetapi, menyadari bagaimana hubungan mereka selama ini, akhirnya Zain memilih diam.

Zain sebenarnya sudah berniat untuk tidur dan menjaga Inara di rumah sakit. Tetapi, Bu Nadya menyarankan Zain untuk pulang bersama Bi Jum dan Amelia. Biar besok pagi bisa gantian menjaga Inara. Akhirnya Zain menurut dan pulang dengan Bi Jum dan Amelia setelah menemui jagoan barunya di ruang bayi. Dan Zain tidak sabar menunggu esok pagi, ingin berjumpa kembali dengan jagoannya itu.

Zain sedang memikirkan nama yang cocok untuk bayi Inara itu. Karena Inara tadi mengatakan belum memiliki nama untuk bayinya. Zain tersenyum membayangkan akan memberikan nama untuk sang bayi. Entah mengapa, ia merasa bahagia diberi kesempaatan untuk itu. Tiba-tiba ia merasa telah menjadi ayah. Ayah yang sebenarnya.

“Mas Zain sepertinya bahagia sekali malam ini.” Bi Jum berucap ketika mereka telah sampai di rumah.

“Iya, Bi. Ternyata begini rasanya menjadi seorang ayah.” Zain menjawab masih dengan senyum yang menghiasi bibirnya.

Amelia menoleh dan memperhatikan wajah Zain beberapa detik. Ia benar-benar tidak mengerti, mengapa Zain yang bukan siapa-siapa bagi bayi Inara merasa bahagia dengan kelahiran bayi tersebut.

“Malam ini, saya mau mencari nama yang bagus untuk dia, Bi. Saya akan memberikan nama yang paling bagus.” 

“Iya, Mas. Semoga Mas bisa menemukan nama yang cocok untuk bayi Mbak Inara.” Bi Jum ikut tersenyum menyaksikan kebahagiaan Zain.

“Iya, Bi. Saya langsung ke kamar, Bi. Besok pagi-pagi setelah shalat subuh saya mau langsung ke rumah sakit.” Zain pamit naik ke lantai dua.

“Ya, Mas.” Bi Jum mengangguk. Sementara Amelia hanya diam meski setiap gerakan dan ekspresi wajah Zain tidak pernah luput dari matanya. Ada yang terasa perih di sudut hati Amelia melihat kebahagiaan Zain malam ini. Tetapi, Amelia berusaha menyadari jika ia bukanlah siapa-siapa untuk laki-laki itu. 


***

Setelah shalat subuh, Zain telah berpakaian rapi. Ia turun ke ruang makan. Amelia dan Bi Jum terlihat sudah sibuk di dapur. Amelia melirik Zain yang sedang menarik kursi dan menghenyakkan pantatnya di sana.

“Gimana, Mas? Sudah dapat namanya?” Bi Jum langsung menyambut kehadiran Zain di ruang makan dengan pertanyaan. Wanita paruh baya itu memang selalu penasaran dengan apa pun juga.


“Alhamdulillah, sudah, Bi.”


“Siapa, Mas?” Bi Jum langsung mendekat dengan mata melebar. 


“Arkan Naufal Pratama.” Zain menjawab dengan semringah.


“Wah, nama yang bagus.” Bi Jum mengacungkan jempol.


Hijrah Cinta InaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang