Tring....
Bel panjang mulai menggema diseantero SMA PELITA. Suara gaduh mulai terdengar dari dalam kelas. Derap langkah kaki saling beradu menuju parkiran sekolah. Aku sendiri keluar dari kelas selesai Pak Davit melangkah menjauh dari kelas.
Aku melangkah sedikit tergesa-gesa karena Kak Jo sudah pasti menungguku digerbang depan sambil memesan segelas es dawet ayu kesukaannya didepan sekolah. Karena aku tak terlalu memperhatikan apapun yang didepan ku, aku melangkah keluar dan...
BRAKK!! Aku menabrak orang yang kebetulan lewat didepan kelas ku. Beberapa buku paket yang kupeluk jatuh berhamburan dilantai. Aku mulai mengemasi buku–buku yang berserakan dilantai. Dapat kudengar dengan jelas, dia menyumpah serapahiku diam – diam.
"Lain kali, kalo jalan liat – liat dulu, jangan asal terobos aja. Kan yang rugi bukan cuman lo." Ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku – buku paketku. Aku sangat mengenal suara ini. Bukankah ini suaranya...
"Kak Han!!" teriakku tak percaya. Aku menelitinya sekali lagi. Takut – takut salah orang. Tapi benar, dia Kak Hanung. Dia kakak ku. Kakak kandungku yang mengalami nasib malang. Bahkan dia tak mengingat siapa keluarga kandungnya. Yang dia ingat hanya Tante Sher dan Om Bryn suaminya.
"Lah bocah, tau nama gue dari siapa? Perasaan gak pernah liat juga. Kan gue baru pindah sekolah disini. Kalo gitu kenalin sekalian. Nama gue Hanung Hadi Kusuma. Lo terserah mau manggil gue siapa aja. Atau kayak tadi, Kak Han. Terdengar manis." Ucapnya dengan begitu percaya diri. Sambil mengulurkan tangannya tanda awal perkenalan. Ya pasti kenal lah kak, aku kan adikmu.
"Oh? Maafkan aku." Kataku sambil berkali – kali menundukkan badanku. Dia terus menatapku bingung. Aneh kali ya? Secara saja ini bukan di Korea atau negara manapun yang menggunakan adat seperti yang kulakukan. Dasar emang kebanyakan nonton DRAKOR ya gini deh jadinya.
"Hei, kalian ngapain sih didepan kelas kek gak ada tempat bagus aja disekolah? Taman kan juga bisa di pakek buat berduaan gini. Oh ya kenalin. Gue Tasya temen baik dari SMP nya Tari." Serobot Tasya dari belakangku. Dia menyambut uluran tangan Kak Han. Memperkenalkan diri dengan gaya menye – menye nya yang khas.
"Woy! Kalian pada ngapain sih? Lah, bukannya dia kakak lo Tar? Kok disini?" tanya Jovan bertubi- tubi. Dengan gerakan cepat, aku menyikut perut Jovan dengan sedikit hentakan. Lah masalahnya, Jovan itu punya mulut selebar mulut gentong punya Mpok Sri dikantin sekolah.
"Aww, sakit Tar!" Jovan meringis kesakitan dan aku hanya bisa menampakkan wajah tak berdosa andalanku.
"Oh ya. Tadi Kak Han mau lewat kan? Lewat aja kak. Lagian gak ada penjaganya lorong disini." Kataku sambil mempersilahkan dia melenggang diantara kami bertiga.
"Begitu ya? Kirain ada penunggunya. Kalo gitu gue jalan dulu. Lo tadi gak ngenalin diri ke gue. Siapa nama lo?" tanya Kak Han sambil nunjuk – nunjuk Jovan.
"Jovan, kak"
"Oke. Jovan, Tasya, sama Tari ya? Kapan – kapan kalo ketemu lagi ngobrol bareng." Pamitnya sambil melangkah menjauh dari kami bertiga.
"Oke kak. Hati –hati nanti kesandung. Bye kakak cogan." Ucapnya genit sambil melambai ke arah kak Han.
"Sip." Jawabnya singkat.
Kak Han melangkah meninggalkan kami bertiga didepan kelas. Kami pun memutuskan untuk menuju keparkiran sekolah.
"Lu gimana sih, Tar? Itukan abang lu. Lama gak ketemu juga ekspresi lu biasa aja gak seheboh biasanya? Kenapa lu? Sakit?" Tanya Jovan bertubi – tubi.