61 | war is over I

676 77 137
                                    

___________________

Persis sesuai dugaan, alasan Biru, Calvin, dan Denil kabur dari ruang musik hanyalah muslihat belaka, supaya Monita tetap pulang bersama Tuan Muda Raiden Jarvis Diningrat—yang kedepannya kita sebut saja si bulol.

Bukan bermaksud nggak mau membantu Monita lari dari rasa malu yang teramat besar ya, tapi berhubung tiga begundal ini sudah dapat sogokan mantul dari si bulol, rasanya bakal rada kampret kalau mereka sampai berkhianat. Jadi setelah dipikir matang-matang, mengingat mereka pun kelewat gumoh membaca kicauan curcol si bulol yang nggak ada ujung pohonnya, mereka sepakat membiarkan si bulol menyelesaikan urusan asmara dengan sang permaisuri.

"Gimana? Hati aman?"

Pertanyaan sarat gurauan itu berasal dari Calvin, begitu menyadari si Biru terus diam sepanjang perjalanan menuju parkiran, tak ada niat menyambung bacotan Denil perkara apa saja yang kemungkinan terjadi dalam ruang musik.

"Hati gue nggak aman, cok." Denil yang menjawab sepenuh jiwa, tentu disertai lagak dramatisnya. "Lo pada udah tau 'kan, jika dua orang lawan jenis terjebak dalam satu ruangan, maka pribadi ketiganya adalah setan. Kalo mereka sampai bikin yang 'iya-iya' gimanaaa? Anjim. Bayangin gini aja hati gue serasa berdarah-darah!"

Calvin langsung mendelik sinis. "Terus napa tadi lo kabur duluan, nyet?"

"Gue cuma ngikut kesepakatan awal. Lagian muka si Aiden juga kayak ngusir banget. Tapi sekarang gue nyesel, udah paling bener kita ngintip mereka dari jendela."

"Selow aja, Kian Santang mah kaga mungkin ngapa-ngapain Monmon."

Denil balik melirik Calvin. "Kian Santang sih iya, yang gua takutin Monmon nih yang nekat nyosor."

Hanya butuh seperempat detik untuk muka Calvin berubah serius. "Lahiya juga, ya! Tuh bloon 'kan rada-rada ganas."

"Gue bilang juga apa."

"Gimana, dong? Kita balik lihat situasi apa begimana?"

"Gue sih maunya gitu," ujar Denil sambil berpikir sok serius, kemudian menggeleng pelan. "Sayangnya gue nggak bisa."

"Kenapa?"

"Coba pikir pakai akal sehat, Pin. Kita udah jalan sejauh ini dan sekarang harus balik lagi? Kaki jompo gue nggak sanggup. Minimal gue butuh baling-baling bambu."

"Kampret, serius dulu, anjim!"

"Apa muka gue kelihatan kurang serius?"

Denil lantas pasang tampang datar sambil merapatkan bibir, lalu hidungnya mulai kembang-kempis, bikin si Calvin nggak tahan untuk beri tamparan telak di pipi.

"Emang lebih berfaedah ngobrol sama simpanse daripada sama lo."

"Lahiya, kalian kan satu bangsa."

"Sori, gue bangsa reptil."

"Cicak? Kadal? Tokek?"

"Yang agak bagus dikit, cok."

"Biawak?"

Calvin membalas dengan decakan, pun detik selanjutnya kembali menatap Biru yang masih bertahan tanpa suara.

Segera ia tergerak menepuk punggung cowok itu, barulah bertanya lagi. "Lo aman 'kan?"

Biru sekilas menoleh pada Calvin, kemudian mengangkat bahu tanda enggan menjawab, lalu langsung mempercepat langkah alias pergi begitu saja tanpa pamit.

"Lah? Bir! Mau ke mana?!" Tanya Denil sedikit teriak.

"Pulang!" Balasnya.

"Haidilao gimana, Bre??"

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang