Sebuah Insiden

65 3 0
                                    

Alunan lagu dangdut di dalam angkot menjadi musik pengantar untuk Juwita pagi ini. Meskipun volume lagunya cukup untuk membuat telinganya budi alias budek dikit, tapi Juwita tak merasa keberatan sama sekali.

Setidaknya dua kursi panjang yang biasa digunakan untuk para penumpang hanya terisi oleh tiga orang termasuk dirinya. Yang artinya Juwita tak perlu berdesak-desakan di dalam angkot. Ia benci jika harus berhimpitan dengan penumpang lain.

Meskipun tak terlalu sering, namun beberapa kali ketika momen desak-desakan itu terjadi, ada beberapa penumpang yang menatapnya sinis dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Oh, tentu saja Juwita tahu arti tatapan itu.

"Nih orang gemuk amat sih. Bikin boros tempat aja."

Begitu kira-kira.

Sebagai seseorang yang terlahir dengan perasaan sensitif, adakalanya Juwita memilih untuk turun dari angkot lebih dulu meskipun tempat tujuannya masih harus ditempuh beberapa kilometer lagi. Tapi tak mengapa. Ia bisa menaiki angkot lain dengan tujuan yang sama. Setidaknya eksistensinya tak harus mengganggu orang lain.

Angkot bermusik dangdut itu akhirnya tiba di depan kampusnya. Juwita segera memberikan ongkos lima ribu dan turun dari mobil berwarna telur asin itu.

Sinar matahari pagi menyambutnya dengan hangat. Juwita menarik nafas panjang. Hari ini adalah hari pertama Ujian Tengah Semester. Setelah semalaman begadang mempelajari materi kuliahnya, Juwita harap ia tak akan mengacaukan nilainya di semester lima ini.

Getaran panjang yang berasal dari ponsel yang digenggamnya membuat gadis itu sedikit tersentak. Ia melihat nama yang tertera di layar ponsel, Nirmala. Teman sekelasnya.

Juwita segera mengangkat panggilan.

"Halo, Nir?"

"Juwiiii. Lo dimana?"

"Baru sampe kampus, nih. Kenapa?"

"Kebetulan! Gue titip es teh, ya! Bu Esther katanya bakal telat, jadi nggak usah buru-buru, Wi."

Dalam hati Juwita langsung merasa lega. Sejujurnya ia memang sempat was-was akan terlambat mengikuti ujian karena beberapa kali sempat tersendat di lampu merah saat menaiki angkot tadi.

"Halo? Juwita? Es teh satu, ya? Nanti gue ganti uang lo di kelas."

"Iya, iya. Gue ke kantin dulu."

"Thanks! See you, Wi!"

Sambungan telepon lalu terputus. Juwita segera melangkahkan kakinya menuju kantin. Ia juga lumayan haus. Jadi bisa sekalian membeli es teh untuk dirinya sendiri.

Sayangnya, pagi itu menjadi salah satu pagi yang paling sial dalam hidupnya. Sebuah insiden kecil yang tak terduga membuat Juwita harus berurusan dengan manusia menyeramkan yang paling dihindarinya.

Gadis itu baru saja menerima dua gelas es teh yang dipesannya. Ia buru-buru berjalan ke luar kantin saat kakinya tak sengaja terantuk kaki mahasiswa lain.

Seketika tubuhnya limbung.

Mata Juwita membelalak.

Dalam sepersekian detik, dengan tangan kanan memegang bungkus plastik berisi es teh dan tangan kiri memegang ponsel, Juwita masih sempat mengedarkan pandangan matanya untuk mencari penyangga—agar ia tak perlu mempermalukan dirinya dengan terjatuh menghantam lantai.

Namun, tak ada. Tak ada penyangga apapun. Yang ada hanyalah seorang laki-laki bertato di bagian lehernya yang berdiri satu meter di depan Juwita.

Wajahnya terkejut setengah mati melihat Juwita.

This Fat Girl Will Never Give UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang