Berusaha melangkah walau gamang, melangkahkan kaki dengan jarak pendek yang sedikit demi sedikit tetap akhirnya akan sampai juga pada depan pintu ruangan sang Ayahanda. Menghela nafas rasanya sangat sulit untuk mengais oksigen saat ini, mengudarakan doa pada langit yang luas berharap harinya kini akan baik-baik saja setelah meyakinkan diri sendiri dengan lapangnya menerima kekalahan di medan perang.
"Aku menerima tetapi Ayah tidak." Gumam sang empu. Suaranya tertahan di dalam mulut, rasanya sangat pahit jika diterjemahkan lebih dalam lagi, hanya satu harapannya kini bahwa kematian jangan dulu datang menghampiri.
Dengan tubuh yang sudah kehilangan tenaga, setelah ia turun dari kuda putih dan masuk serta melewati gerbang kerajaan, beberapa prajurit yang tersisa sudah pergi untuk berbenah diri dan mengistirahatkan tubuh mereka masing-masing.
Sedikit kokoh berdiri, rasanya sangat lemas padahal belum masuk ruangan sang Ayah namun tubuhnya sudah mulai bergetar. Takut sangat takut, kekalahannya bukan semata disengaja hanya memang hukum alam dalam peperangan selalu ada menang dan kalah dan putra pewaris kerajaan mendapat opsi kedua dalam pernyataan yang barusaja dituliskan.
Pintu yang menghubungkan antar ruang yang kini sedang ia pijak dengan ruangan sang Ayahanda akhirnya terbuka sangat lebar, memperlihatkan punggung yang lebar membelakangi karna pemilik tubuh itu sedang menghadap arah luar lewat jendela.
"Ayah?" Panggilan dengan suara kecil berusaha untuk ia suarakan pada sang Ayahanda yang enggan menyambut kepulangan putra pewaris.
Tidak ada sapaan hangat dari rakyat, tidak ada pelukan kebanggaan dari dekapan sang Ayahanda bahkan mungkin sang Ibunda pun merasa miris dengan nasib sang anak di dunia ketika ia melihat dari atas langit turun ke bumi.
"Ibu, maaf karna aku sudah mengecewakanmu, aku harap kau tenang di sana di alam yang berbeda denganku." Ucapannya tercekik di dalam hati, tidak disuarakan karna merasa sangat tak pantas dan dirinya mengakui bahwa kata pengecut adalah kata yang pas untuk menggambarkan dirinya.
"Aku pikir engkau sudah tidak memiliki wajah untuk menghadap aku."
Senapan kata menancap tepat di relung hati hingga ke inti paling dasar. Apa Ayahnya pikir perkataan itu tidak membuat luka? Ohh sungguh kekuatannya kini jatuh hingga dasar. Tepat sasaran, perkataan itu nyaris membuat jantung berhenti berdetak.
Jam dinding seolah berhenti detik itu juga, Ayahnya menang telak dan sang anak tidak bisa berkutik lagi.
"NARESH!!
Bentakan Ayahanda mengguncangkan daksa.
Spontantersentak membuat Ayahanda emosi karna sang anak yang seperti tidak punya jati diri, linglung datang tanpa permisi.
Dibaliknya tubuh yang tinggi, lebar dan bribawa itu, memutar menghadap pada sang anak yang jauh berjarak dihadapannya. Sang anak menunduk takut, gesturnya bergerak tidak nyaman namun sang Ayah terlihat tidak acuh.