Sean bukan ingin egois, tapi ia merasa bahwa ini bukanlah hal yang benar. Melihat segala yang terjadi pada saat itu, Sean tak senang. Ia bukan menyalahkan wanita yang ada di depannya pada saat ini, hanya saja dia merasa tak senang tiap kali ia melihatnya.
"Selamat pagi ka Sean!" Teriak seorang perempuan memeluk lengan Sean.
"Lepas," Tak suka Sean, menepis tangan perempuan itu dan berlalu pergi dari sana.
"Kak Sean kok cueknya sama aku doang yaa...." Perempuan itu dengan sedih.
Sean pergi ke kelas dan meninggalkannya, menghiraukan segala sahutan selamat pagi dari orang-orang di sekitarnya. Mengulang kembali segala kejadian yang direkam kepalanya. Kembali bertanya pada dunia.
"Lagian kenapa gue bantuin dia waktu itu sih," Gerutu Sean.
"Lu napa dah pagi-pagi stres banget udah kek orang mikirin utang," Jiwa menyahut.
"Gue tebak, lu belom nyelesain anggaran terus anggarannya ketinggalan," Kara ikut menyahut.
"Oiya, duh ada ga ya kertas anggarannya," Sean mengobrak – abrik tasnya.
"Lah?" bingung Kara.
"Untung ada, astagaa," lega Sean.
"Lo tahan tah se ngeliat tu kertas? Gue yang liat aja langsung pusing, mana itung – itungan mtk gue remed lagi," Cakra menggaruk kepalanya.
"Bodoh lu, kan ada kalkulator" Kara.
"Iya juga ya?"
"Apasih sedeng," Jiwa.
"Tau tuh bendahara lo emang kemana dah Se?" Juan menyahut, memasuki kelas Sean. "Ijin yak" katanya.
"Lagi dapet katanya" Sean.
"Buset udah kek itu aja lu, apa namanya cak? Ah iya, pipel liser," Kara.
"People liser bego!" Cakra menoyor kepala Kara.
"People pleaser gendeng," Jiwa menengahi.
"Nah, ntu die maksud gue, anjing lo cak," Kara kesal, kembali menoyor kepala Cakra.
"Jadi gimana se?" Jiwa menoleh dan mendapati bahwa Sean dan Juan telah pergi. "Lah?"
"Alah, anak rajin suka amat ke sawala," Cakra.
"Namanya juga OSIS cak," Kara.
"Hooh, bener juga lu," Cakra mengiyakan.
"Lo berdua juga OSIS, tolol!" Jiwa menoyor kepala mereka.
Kini Sean dan Juan berjalan sambil diam tanpa bersuara. Bergerak menuju ruang sawala setelah melewati gerombolan orang gila yang berada di kelas Sean.
"Ngurus anggaran mulu, istirahat kek bentar, gue yang ngeliat aja cape," Juan membuka pembicaraan.
"Tanggung, dikit lagi," Sean.
"Dikit dakat dikit, gue bilangin Mbak Vira tau rasa lu!" Ancam Juan.
"Hm." Sean.
"Paan dah bocah ribut mulu kerjaanya," Perempuan yang dipanggil Mbak Vira.
"Liat noh mba kertas anggaran punya siapa, malah Sean yang ngurusin," Adu Juan.
"Apaan sih ju, nggak mba ini bendaharanya lagi dapet makanya saya bantuin biar cepet selesai," Bela Sean.
"Se, udah cukup, liat tuh kantung mata kamu hitem kayak panda," Mbak Vira.
"Tapi mba-"
"Ga ada tapi – tapi sini kertasnya biar gue kasih ke bendaharanya," Postur meminta.
Sean mengambil map tebal itu dari meja dengan gugup dan langsung direbut oleh Mbak Vira.
"Yey!" Girang Juan.
"Udah ye, gue mau ke ruang kepsek dulu," Vira meninggalkan mereka berdua.
"Dadah mbak," Ucap Juan dengan senyum penuh kemenangan.
"Lo sih ju, dikit lagi kelar padahal,"
"Brisik, sekali – sekali istirahat napa kerja mulu udah kayak kacung lu," Juan meninggalkan Sean untuk kembali ke kelas.
Selanjutnya berjalan seperti biasa, belajar-istirahat-belajar-makan siang-dan kembali belajar-lalu pulang. Siklus yang tak pernah hilang dari bangku menengah atas ini.
Bel berbunyi, dentingan kesukaan tiap siswa saat jam terakhir dengan Kara yang tentunya tertidur dan ditutupi badan besar milik Cakra, Jiwa yang belajar untuk mengejar nilai Sean, Cakra yang sedang melirik siswi yang baru saja lewat dari toilet, dan Bu Sinta yang sedang mendongeng Kara didepan kelas.
"Akhirnya ya Tuhan!" Ucap Kara yang baru bangun dari tidurnya.
"Cocot amat lo Kar," Jiwa membereskan buku yang berserakan di mejanya.
"Itu Cakra mau kemana?" Sean menunjuk orang yang baru saja mencium tangan Bu Sinta dan berlari keluar dari kelas untuk mengunjungi siswi yang diliatnya tadi.
"Kemana lagi dah bocah main pergi bae gurunya belum keluar," Bu Sinta geram ingin menjewer.
"Biasa itu mah, anaknya kan emang demen sama si Ayu," Jiwa.
"Ayu temen kelas Juan?" Kara langsung bangun.
"Hooh," Jiwa menganggukan kepalanya.
"Lah, Juan punya temen?" Tanya Sean dengan skeptis.
"Lo pikir dia sama kayak lo? Enggak keleus," Kara lelah dengan Sean.
"Hahahaha," Jiwa tertawa dengan pembawaan Kara.
Sean tidak pulang bersama Juan, karena Juan pergi dengan temannya. Dan Sean juga ingin pergi ke perpustakaan kota untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan belajar disana. Sean tak ingin beasiswa miliknya dicabut karena bermalas-malasan.
Setelah sampai ke gedung perpustakaan kota tiga lantai itu Sean tak langsung belajar. Dia pergi ke rooftop untuk melihat keadaan kota sebentar dari atas sana sembari meminum susu yang baru saja dibelinya dari minimarket. Disana Sean melihat seseorang yang sedang berkutat dengan nikotin sambil mengepulkan asap dari mulutnya. Sean mengambil kursi yang berada di ujung dan membuat jarak satu kursi ditengah mereka.
Sean menoleh kesamping sebentar untuk melihat siapa yang merokok diatas sini, dan mereka bersitatap untuk beberapa saat dengan kekagetan dari orang yang ditatap lebih dulu. Membuka sedikit memori dari masa lalu yang dibuat, dengan reaksi aneh dari seberang sana yang tak peduli dan kembali mengedarkan pandangannya pada langit.
'Apa dia tidak mengenaliku?' Pria itu dalam hati.
"Sean?" -?
Sean menoleh dengan kaget. 'Darimana dia tahu namaku?'
~tbc
kiw
KAMU SEDANG MEMBACA
Leave To Life ; After Dark.
RastgeleMudah. Hadir, hilang, lalu kembali. Hidup yang awalnya di inginkan semua orang. Tapi dibenci oleh boneka sang semesta. Ch : 1, After Dark Leave To Life by Vincentt_08