1.3K 80 10
                                    

Hari demi hari terlewati dengan dentingan lagu pemanggil roh dari ruangan pribadinya. Mengusap dengan frustasi wajahnya yang terlihat sangat lelah.

Ini sudah tahun ke 15

Masih sama seperti biasa, tidak ada jawaban dari apa yang di inginkan. Lalu matanya bergulir pada langit-langit ruangan yang entah sejak kapan di penuhi oleh debu yang tebal.

Bukan ini kemauannya, ia ingin kembali ke masa muda saat semua belum berakhir menjadi berantakan seperti sekarang.

"Wei Ying."

"Wei Ying," lagi.

"Wei Ying," sekali lagi.

"Wei Ying," dan kata-kata yang sama terus terucap oleh lidahnya hingga menjadi kelu.

Matanya menyendu menyapu sisa-sisa kenangan yang pernah ada. Tempat ini masih sama, dengan dirinya yang sama. Hanya saja, semua berubah kembali seperti semula.

Menjadi tempat sunyi yang tak pernah di sapa oleh bunyi.

.....

"Kau tidak akan di ampuni oleh dewa!"

"Raganya tidak akan pernah kembali, hancur tak akan pernah bisa menyatu lagi,

Wei Wuxian, tidak akan pernah terlahir kembali!"

"Terima hukumanmu, Lan Wangji!"

"Selamanya, menanti tanpa arah, meratapi kehidupan manusia hingga bumi bertemu ajalnya!"

"Usiamu berhenti, dan nyawamu tidak akan di terima oleh makhluk langit,"

"Ratapilah kesalahanmu, Lanzhan."

Lan Wangji terbangun dengan wajah dipenuhi oleh peluh yang mengalir, membawa sesak di dada atas mimpinya yang buruk.

Bukan

Bukan mimpi.

Karena itu adalah nyata. Kejadian nyata yang terjadi di hidupnya sejak lama.

Dan sejak itulah harapannya akan dunia mulai sirna, warna tidak lagi terlihat menawan di balik netranya.

Kakinya kembali berjalan menuju ruangannya untuk memainkan lagu itu kembali.

Meski dihatinya pun merasa itu perbuatan yang sia-sia.

.....

Selama ini matanya tertutup dengan paksaan akibat stimulasi titik akupuntur, atau lebih tepatnya, ia pingsan.

Segala beban yang ia terima dari sekte membuatnya hidup bagai di neraka, bahkan saudaranya pun tidak bisa apa-apa.

Meski beberapa kali sempat membantu lewat jarak jauh untuk bertanya tentang kondisi adiknya tersebut.

Kain dalaman berwarna putih itu ia singkap untuk menatap memar pada kedua lututnya, terlalu lama duduk bermain lagu yang sama tanpa jeda.

"Sudah berganti hari.." perkataannya lirih menatap langit menjadi cerah di balik jendela tempat ia berbaring.

Lalu berjalan melewati ruangan menuju air terjun dingin di belakang gunung, guna menyembuhkan memarnya, dan juga baginya untuk menyendiri.

Sejak di hukum oleh tetua sekte, Lan Wangji semakin tertutup, semakin irit bicara, bahkan sekedar memberi gerakan kecil pada kepala seperti gelengan pun tidak. Ia terlihat bak patung yang berjalan tegak tanpa nyawa.

Dan ketika kakinya melangkah memasuki arus air sungai yang tenang, ia merundukkan kepalanya. Menatap pantulan samar yang menampilkan dirinya yang berantakan. Lalu tanpa suara seiring tenggelamnya kepala, air mata itu runtuh di sapu arus yang menerpa wajahnya.

Dingin

Hampa

Tidak ada suara

Di sungai yang luas hanya ada dirinya seorang. Membasahi diri pada dinginnya hari. Ia bahkan lupa ini sudah memasuki musim dingin, lagi.

Serpihan salju mendarat tepat di atas kepala saat ia mencoba menarik nafas, rambutnya tersapu dengan lembut meninggalkan jejak salju pada permukaannya.

Tangannya terulur, menangkap satu keping dingin itu. Menggenggamnya erat membuat bekas menempel di telapak tangannya yang lebar.

Salju pertama di tahun ke 15

.....

Jubahnya menyapu kayu dengan kain basahnya, menyisakan jejak kristal es yang membeku akibat dinginnya hari. Berjalan tegap dengan genggaman erat pada tangan kanannya, menyembunyikan satu serpihan itu yang tertangkap olehnya tadi.

"Wangji," langkahnya terhenti menatap saudaranya yang berdiri tak jauh darinya, ia menggerakan kepala untuk memberi hormat singkat sebelum melangkah pergi menjauhi.

"Wangji tunggu!" Sebuah telapak tangan mendarat di bahu kirinya, memaksanya berhenti.

"Apa yang kau lakukan di cuaca seperti ini?" Suara yang halus mendayun di telinganya.

"Berendam," singkat.

"Tapi ini dingin," nada khawatir itu membuat hatinya sedikit lega.

Setidaknya, saudaranya masih memperdulikannya.

"Tidak dingin," dan kembali mengulangi hormatnya, kali ini langkahnya tidak di tahan lagi, ia pun melangkah pergi.

.....

Selama 15 tahun ini Lan Wangji hanya berdiam di ruangannya, tidak ada yang berani mengganggunya kecuali untuk membuatnya pingsan akibat lagu yang di mainkan secara berulang sepanjang hari.

Memaksanya berhenti untuk tubuhnya yang kerap kali ia paksa.

Meski ia abadi, bukan berarti bebas menyakiti diri.

Setidaknya itu menurut saudaranya.

Namun tidak untuknya.

Bahkan melewatkan waktu untuk penyembuhan diri pun ia anggap percuma. Ia lebih memilih duduk dan memainkan lagu yang sama seperti biasa.

Meski tidak pernah ada jawaban.

Meski tidak pernah ada tanda.

Meski semua sia-sia.

Karena waktu hidupnya lama, ia merasa harus tetap berdiri di sepanjang masa.

Menanti tanpa kepastian, akan kehadirannya yang selalu ia dambakan.

.....

.....

.....

Sirna (MDZS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang