Bagian 1

231 13 0
                                    

"Ayah, uang kami sudah nggak ada lagi, Yah!" Suara Ervi melengking, menahan tangan Ayahnya yang memaksa untuk membuka laci tempatnya menyimpan uang hasil jualan.

"Ah, kamu ini, Ayah lagi butuh uang, minggu depan Ayah ganti," ucap Burhan—Ayah kandung Ervi dan adiknya—Nadira.

Sebuah warung makan kecil di salah satu sudut Kota Pekanbaru menjadi saksi keributan antara anak dan ayah. Ervi melihat ayahnya dengan mata geram. keadaan mereka semakin sulit sejak pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat. Warung makan mereka sepi, belum lagi kampus mereka juga memberlakukan kuliah daring. Semua langganan mereka yang kebanyakan mahasiswa pergi ke daerah masing-masing. Mereka menjerit dengan keadaan ekonomi yang semakin menjepit.

Sekarang lihatlah, Burhan yang sudah dirumahkan dari kantor sejak sebulan lalu, datang meminta bantuan kepada dua putrinya. Ia sama menjeritnya dengan Ervi dan Nadira. Dapur harus tetap mengepul, perut harus tetap diisi, tagihan listrik dan air harus tetap dibayar, belum lagi angsuran sepeda motor dan biaya kontrakan rumah, serta juga anaknya yang harus tetap sekolah dengan sistem online—Ia juga harus menyiapkan paket data untuk belajar. Ah, Burhan kehilangan akal. Sejak dirumahkan oleh perusahaan, dia tidak ada lagi pemasukkan. Sementara istrinya di rumah terus minta jatah bulanan.

"Ayah, kami juga butuh uang disini, sewa warung ini juga belum kami bayar." Nadira berteriak, menahan laci yang dibuka paksa sang ayah.

"Kalian ini! mengertilah dengan keadaan Ayah sekarang. Adik kalian butuh biaya sekolah, minggu depan Ayah ganti, sekarang kasih Ayah dulu!" Burhan melotot tajam kepada kedua putrinya. Ia juga geram, kesal karena Ervi dan Nadira tidak peduli dengan keadaannya yang juga susah.

"Kami juga butuh uang, Yah! anak Ayah bukan hanya anak yang di rumah itu, kami juga anak Ayah!" Ervi berteriak kencang, ia balas melotot mata sang Ayah. Kesal, dari dulu Burhan tidak pernah memberinya dan Nadira uang untuk keperluan kuliah. Malah Burhan yang sering datang, meminjam uang untuk adik tiri mereka dan berjanji akan menggantinya. Namun kenyataannya, apa yang dijanjikan Burhan tidak pernah dipenuhi. Ia tak pernah mengganti uang yang diambilnya dari Ervi dan Nadira.

Keadaan terasa memanas, Burhan kekeh membuka laci meja tempat biasa Ervi dan Nadira menyimpan uang hasil jualan mereka. Sementara Ervi sekuat tenaga menahan tangan sang ayah. Nadira di sampingnya menahan tangis, hatinya yang lemah mudah sekali tersakiti. Ia kecewa dan benci kepada Burhan. Matanya berkaca-kaca menatap raut kegeraman ayahnya yang masih berusaha membuka laci uang mereka.

Pintu kaca warung makan yang sederhana itu terbuka, derit pintunya membuat pergumulan mereka terhenti sejenak. Ervi dan Nadira segera merapikan pakaian dan wajah mereka. Sejak pagi belum ada pengunjung yang datang, membuat mereka mengeluh, pandemi membuat penghasilan mereka menurun drastis. Ervi menoleh, tersenyum kepada seorang laki-laki yang memakai masker hitam masuk ke dalam. Nadira pun juga, ia tersenyum menyambut pengunjung pertama mereka sejak pagi.

Burhan tak menyia-nyiakan kesempatan, ia membuka laci meja Ervi dan mengambil semua uang yang ada disana, memasukkannya ke kantong plastik hitam. Ervi kelabakan menahan tangan sang ayah. Ia tidak ingin bertengkar di depan pengunjung, itu bisa membuat orang kabur dari warungnya. Burhan tersenyum picik, ia segera pergi membawa semua uang Ervi dan Nadira, melewati pengunjung warung yang berjalan pelan melihat ke sekeliling warung kecil yang sepi itu. Membuat Ervi dan Nadira menggeram, mengepalkan tangan menahan marah melihat kelakuan ayah mereka.

Tak ingin kehilangan jerih payahnya, Ervi memutuskan berlari mengejar Burhan. Meninggalkan Nadira yang berusaha tersenyum menyambut pengunjung mereka. Si Laki-laki itu melihat ke arah Ervi dan Burhan sejenak, bingung, ia tidak memahami apa yang disana. Kemudian ia menoleh kepada Nadira, mengabaikan Ervi, gadis manis dengan kulit kuning langsat dan lesung pipit, rambutnya hitam dan rapi.

"Siang, Bang! Mau pesan apa?" tanya Nadira yang berusaha bertanya seramah mungkin.

"Siang, hmm ... aku mau bungkus nasi, bisa, kan?" jawab laki-laki itu tanpa membuka masker hitamnya.

"Bisa, Bang. Sambalnya apa?" tanya Nadira.

Laki-laki itu menoleh ke daftar menu yang ada di meja kasir tersebut. Serba ayam, mulai dari ayam pecel, ayam pedas, ayam balado, hingga ayam crispy.

Laki-laki itu menarik nafas sejenak. "Ini menunya ayam semua, ya?" tanya Laki-laki itu dengan dahi berkerut.

"Iya, Bang, namanya juga warung Ayam Renyah ...." jawab Nadira setengah bergurau.

Laki-laki itu manggut-manggut, "Ayam balado saja, nasinya double, ya."

"Siap, Bang. Tunggu sebentar ya." Nadira mengangkat jempolnya, kemudian lekas masuk ke dapur di belakang meja kasir untuk menyiapkan pesanan laki-laki itu.

Sementara tak jauh dari warung tersebut, Ervi menarik tangan Burhan yang berhasil ia kejar. Burhan berusaha melepaskan tarikan Ervi, namun anaknya itu bertahan sekuat yang ia biasa. Ayah dan anak itu tidak ada yang mau mengalah. Burhan tak punya pilihan lain, ia butuh uang untuk memenuhi segala kebutuhan rumahnya. Sementara Ervi juga sama, ia harus menyimpan uangnya, membayar sewa warung, biaya kuliahnya dan Nadira, serta juga kebutuhan kuliah online mereka setiap hari.

"Ayah! kembalikan uangku, Yah, itu hasil keringatku dan Nadira ...." Ervi meringis, ia tak kuasa melawan kekuatan ayahnya.

"Nanti Ayah ganti! kamu nggak kasihan melihat ibu dan adikmu tidak makan di rumah?" Burhan balas membentak, ia berusaha melepaskan tarikan Ervi di lengan kirinya.

"Tapi itu tanggung jawab Ayah, bukan aku dan Dira!"

Burhan menggigit bibir, menahan marah karena penuturan Ervi. Kemudian dengan kasar ia mendorong Ervi hingga terjatuh ke jalan. Tanpa peduli ia kemudian berlalu pergi.

"Ayah!" teriak Ervi melihat Burhan yang melangkah cepat keluar dari gang kecil di sudut Kota Pekanbaru tersebut. Meninggalkan Ervi yang menangis, menjadi tontonan beberapa orang yang ada di gang itu.

Satu dua menaruh simpati kepadanya. Tapi lebih banyak yang tidak peduli, tidak mau ikut campur masalah keluarga Ervi. Toh, mereka juga sering melihat Burhan datang ke warung Ervi dan tahu bahwa laki-laki itu ayah Ervi dan Nadira. Mereka juga sama-sama paham, siapapun menjerit dengan keadaan sekarang. Susah, ekonomi seakan mati karena kebijakan pemerintah membatasi kegiatan masyarakat untuk memutus penyebaran virus berbahaya yang menyerang seluruh dunia.

Ervi masih berusaha mengejar Burhan, namun di ujung gang, ia sudah kehilangan jejak sang ayah. Membuat Ervi hanya bisa menahan tangis dan sesak di dadan. Kepalanya bahkan terasa sakit, ia tak tahu lagi mencari uang kemana. Sementara pengeluaran yang cukup besar sudah mendesak.

Dengan langkah gontai, Ervi berjalan kembali ke warungnya. Merapikan rambutnya yang berantakan. Mengusap mata dan pipinya yang tadi sempat basah. Ah, tidak ada gunanya ia meratapi keadaan, toh dia juga paham, semua orang, terutama pedagang makanan seperti dirinya memang sama-sama susah dengan keadaan sekarang.

Saat masuk kembali ke dalam warung, mata Ervi melotot marah pada sosok laki-laki yang tengah dilayani Nadira. Laki-laki itu mengeluarkan dompet dan membayar pesanannya dengan uang dua puluh ribu. Membuat Ervi mengembuskan nafas kesal, bayaran laki-laki itu tidak sebanding sama sekali dengan uangnya yang diambil Burhan.

Setelah selesai membayar, mengucapkan terimakasih dengan sopan kepada Nadira, laki-laki itu berbalik badan. Seketika mata lembutnya berpapasan dengan mata Ervi yang menatapnya dengan tajam, menahan emosi. Laki-laki itu bingung dengan mata Ervi yang menyimpan kemarahan. Namun ia memilih tidak peduli dan kemudian melangkah pergi, keluar dari warung Ayam Renyah milik Ervi dan Nadira. Meninggalkan Ervi yang masih menatap punggungnya dengan emosi yang terasa masih meluap-luap.

"Gimana, Kak?" tanya Nadira yang telah menghampiri Ervi.

"Dibawa sama Ayah semuanya, Dir," jawab Ervi dengan lemah.

"Astaga, semuanya, Kak?" tanya Nadira dengan wajah cemas, lalu dijawab Ervi dengan anggukan lesu.

"Ya, Tuhan, kita harus mencari uang kemana lagi, Kak? uang untuk beli bahan baku yang baru saja udah habis dibawa Ayah, masa kita harus mengambil tabungan kita yang sudah menipis di lemari?" rintih Nadira dengan mata berkaca-kaca. Ah, hati mahasiswi berusia 19 tahun itu masih lemah untuk dihadapkan dengan keadaan sulit seperti sekarang. Bahkan lutut Nadira juga terasa melemah, ia hanya bisa menggigit bibir menahan tangis.

"Semuanya gara-gara laki-laki tadi, kalau dia tidak datang, kita pasti bisa mempertahankan uang kita dari Ayah," tutur Ervi menahan geram.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang