PK 08 : ........ jangan pergi, Kang

711 30 2
                                    


Aku kembali pulang dibonceng oleh Kang Burhan sambil membawa beberapa kelapa muda di palang besi depan dan di boncengan belakang. Kang Burhan memintaku untuk berpegangan erat pada pinggangnya dan dia mengkayuh pedal sepeda dengan mantap.

Sesampai di gerbang dapur, seorang pumuda tampak berlari menghampiri aku dan Kang Burhan. Wajah pemuda itu tampak tegang.

"Burhan ..... cepat masuk ke dalam. Kanjeng Nenek mencarimu sejak tadi ....... Kanjeng Nenek tampaknya marah besar."

Ada apa ? Apa yang terjadi ?

Tanpa menunggu lagi, Kang Burhan berjalan cepat masuk ke rumah induk sambil menarik tanganku. Terpaksa aku berjalan sedikit berlari di belakangnya.

Di ruang keluarga depan sudah berkumpul hampir semua keluarga, mereka ada yang duduk dan berdiri di sekeliling meja tengah. Kulihat Papa duduk di sebelah nenek yang sedang memegang dahi.

Kenapa tampang semua orang tampak gusar, apa yang sedang terjadi ?

Papa berdiri dari tempat duduknya saat melihat kedatanganku dan Kang Burhan.

"Rizky ! .... Dari mana saja kamu ?"

Semua orang menoleh kearah kedatanganku dan Kang Burhan. Kulihat Hegar yang duduk di depan Nenek juga menoleh. Dan betapa terkejutnya aku saat melihat mata kiri Hegar tampak lebam menghitam. Tak sadar aku menggenggam lengan Kang Burhan erat.

"Burhan .... kesini kamu."

Suara Nenek terdegar lebih keras dari biasanya. Aku dan Kang Burhan berjalan mendekat. Suasana ruangan kurasakan semakin menegang.

"Apa yang telah kamu lakukan pada cucuku, Hegar .....!"

Kulihat Kang Burhan semakin menundudukkan wajah.

"Jawab Burhan .....!!" suara Nenek terdengar tidak sabar.

"Maafkan saya, Kanjeng Nenek ..... ini semua salah saya."

"Kamu apakan Hegar sampai matanya legam begitu ? .... Kamu hajar ?"

Kang Burhan semakin menundukkan kepala, dan hal itu membuat hatiku menjadi geram juga.

"Apa salah Hegar sampai kamu hajar babak belur seperti itu ? .... apa kamu sudah mulai berani dangan saya."

"Nenek ....... !"

Aku sudah tidak sabar lagi, emosiku tersulut karena Nenek memojokkan Kang Burhan tanpa menunggu penjelasan. Namun kurasakan tanganku digenggam Kang Burhan dan dia mengeleng perlahan. Memberiku isyarat supaya aku tetap diam.

"Kamu itu tidak bisa membelas budi. Sudah aku besarkan kamu sedari kecil dan ini balasan dari kamu. Kalau kamu sampai berani menyakiti cucuku, berarti kamu juga sudah mulai berani sama saya .... sekarang kemasi barang kamu dan pergi dari sini."

Nenek kembali duduk dengan nafas sedikit tersengal, dia memalingkan wajah tidak melihat ke arah Kang Burhan dan aku lagi.

".... Maafkan saya .... Kanjeng Nenek, saya mohon maaf .... saya pamit ....."

Sudah ? hanya itu yang keluar dari mulut Kang Burhan. Dan itu membuat kesabaranku habis sudah. Kulihat Kang Burhan bergerak mundur perlahan dan melangkah pergi ke arah pintu belakang.

"Nenek! ..... Kang! Kang Burhan jangan pergi ...... Akang tidak bersalah ... seharusnya .... seharusnya .."

"Ky, kenapa kamu membela Si Burhan ..... sudah jelas khan kalau dia yang memukuli Hegar."

Tante Lina, Mamanya Hegar bertanya sekaligus menuduh.

Saat aku meneriakkan nama Kang Burhan lagi dan memintanya untuk tidak pergi, kurasakan tangan Tante Mariam memegang lenganku untuk menahanku. Kutatap semua orang yang ada di ruangan itu. Pandanganku mulai memanas.

"Kenapa kalian semua hanya menghakimi seara sepihak. Kang Burhan tidak bersalah ..... Aku tidak tahu apa yang telah Hegar katakan pada kalian semua," kualihkan pandanganku menatap ke arah Hegar dengan marah ," ...... tapi apakah dia cukup berani untuk mengatakan apa yang telah dia lakukan kepadaku tadi."

Hegar tampak menelan ludah dan langsung tertunduk.

Bagus sekali kelakuannya.

"Ky, apa maksudmu ? .... Apa yang Hegar lakukan kepadamu ?" tanya Tante Lina.

"Tanya saja pada anak kesayangan Tante itu."

Kataku sambil melengos untuk pergi. Kuhampiri Mbak Dinda yang sedang menagis di sebelah Tante Mariam, ibunya.

"Mbak Dinda, maafkan aku ... bukan maksud aku untuk mengacaukan persiapan pernikahan Mbak ..... semoga pernikahan Mbak Dinda berjalan lancar dan menjadi keluarga yang bahagia ." kataku sambil memeluk Mbak Dinda yang semakin menangis tersedu, " .... Maafkan aku, Mbak .... aku pamit."

"Ky, kamu mau kemana? ..... Jangan pergi, Ky."

Mbak Dinda mencoba untuk menahan. Kukecup lagi pipi kirinya dan kuusap derai air mata di wajahnya yang sedih.

"Maafkan aku, Mbak ..... Tante Mariam juga ...."

Aku menyalami tangan mereka berdua.

"Ky, kamu mau kemana ?" tanya Mama, nada suaranya terdengar khawatir.

"Kalo Kang Burhan bisa pergi dari rumah ini .... Kenapa aku tidak. Aku kembali ke Jakarta sekarang, Ma."

"Rizky !" Papa juga mulai angkat bicara.

Tapi semua sudah terlambat. Tekatku sudah bulat. Aku sudah tidak ingin tinggal lebih lama lagi di rumah Nenek. Dan meningalkan kekacauan yang telah mereka buat sendiri.

*********

BERSAMBUNG

Author Note :

Maaf .... Untuk cerita kali ini tidak ada bonus nya. Ini hanya versi Original.

Hope you still like it.







PONDOK KELAPA Re-PublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang