"Memang, Mbak Latu ndak dimarahin orang tuanya gitu pergi sama Mas Yita berdua?" Celetukan Jenar rasanya hampir membuat Latu menyemburkan tawa. Lebih tepatnya, seteguk kopi yang belum sampai tertelan.
Sementara itu, Yita melirik Latu sejenak sebelum mengembuskan napas panjang.
"Aslinya sih agak worry, tapi nggak apa-apa katanya. Apalagi pas mereka tahu ada siapa di balik Yita." Tangan perempuan itu terulur, meraih gorengan yang masih hangat di tengah-tengah keempatnya.
Raut bingung langsung diperlihatkan Ulung dan Jenar. Dahi meeka berkerut dalam dengan pangkal alis tertaut.
"Her parent and my uncle are friend. Mereka juga mengenal orang tuaku secara tidak langsung lewat Paman." Penjelasan Yita membuat kakak-beradik itu mengangguk paham.
Hening beberapa saat di antara mereka, memilih menikmati kopi dan gorengan barang sejenak tanpa interupsi. Meski begitu, hilir-mudik orang-orang di sekitar tentu tak lengang. Atau perbincangan sekumpulan orang di atas tikar samping, sama-sama beradu obrolan juga banyolan sesekali, pun ada juga yang menggenjreng gitar memainkan lagu-lagu indie. Ah ... Latu suka situasi angkringan semacam ini.
"Jenar seriusan nggak apa-apa keluar sampai malem begini? Ya emang sih, aman juga karena ada Ulung tapi, kan besok sekolah." Kaki Latu yang semula bersila diselonjorkan ke samping, sisi kanan Dayita. Rasa-rasanya sudah terlampau lama darahnya tak mengalir ke sana, kesemutan.
"Tenang aja, dia kalong berwujud manusia," celetuk Ulung, "malamnya on fire, di sekolah tidur."
"Mas Ulung tau aja." Bukannya tersinggung, Jenar justru setuju, mengundang dengkusan dari sang kakak juga tawa dari bibir Latu. Yita sendiri menggeleng tak habis pikir.
"Oh iya, jadi kesibukan kamu sekarang apa, Lung?" Sejak sampai, baru ini Yita benar-benar berbicara.
Ulung tak langsung menjawab, justru meraih sebungkus rokok yang sejak awal tergeletak di tengah-tengah mereka, milik lelaki itu sendiri. Disulutnya batang candu itu sebelum sekali mengisap dan mengepulkan asap. "Sewajarnya manusia yang sering nggak sejalan antara jurusan kuliah sama kerjaan, aku sekarang jadi staff di kantor kelurahan."
Tawa lolos dari bibir Jenar, gadis itu memang selalu menganggap bahwa hal yang satu itu adalah lelucon paling lucu dalam hidup sang kakak. Bagaimana tidak, dulu, setiap mengurus surat ke kelurahan, Ulung selalu senewen sebab pelayanan yang tak memuaskan menurutnya. Contoh saja membuat KTP, saat teman-teman Ulung hanya perlu waktu paling lama seminggu sampai kartu kependudukan mereka jadi, ia harus sabar menunggu enam bulan lamanya. Entah disembunyikan di mana berkas miliknya? Lihat, sekarang ia malah harus terjebak di sana bersama berkas ratusan orang yang tiap hari selalu bertambah.
"Paling lucu lagi, Mas, Mbak, di sana Mas Ulung sering diuber sama pustakawan desa."
Tuhan, bolehkah Ulung menyumpal mulut adiknya? Diingatkan perkara perempuan yang satu itu membuat Ulung semakin senewen saja.
"Kenapa? Karena nggak balikin buku yang dipinjem?" tanya Latu, sudah kembali ke posisi bersila.
"Bukan! Cewek itu suka sama Mas Ulung. Jadi, gitu, deh," jawab Jenar santai.
Kali ini tawa Latu ikut pecah. Membayangkannya saja Latu sudah ingin tertawa.
"If she's kind, why not?" timpal Yita.
"Heh, kamu pikir baik aja udah cukup buat dijadiin bare-minimum calon istri?" Ulung melotot lebar. "Big no!"
"Halah, bilang aja karena Mas Ulung ndak suka sama perempuan agresif. Lagian selain baik, Mbak Sarira juga cantik, kok. Pinter dan sopan pula."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
General FictionApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...