Chapter 5 – Bunny Project 5th
Graduation
Matsuno Chifuyu x Tachibana Haruna
Tokyo Revengers belongs to Ken Wakui***
.
.
.Kucing itu akan terus mencari, mencari, dan mencari
hingga menemukan majikan barunya
Setelah selesai mengantar Naoto kembali ke rumah, keheningan mengalir di antara diriku dan Chifuyu. Suasana yang cukup canggung, aku bahkan tidak tahu bagaimana harus membuka obrolan. Semoga saja, cepat selesai dan ia benar-benar menghilang sepenuhnya dari hadapanku. Kini, kami berada di pesisir sungai, duduk di atas rerumputan hijau seraya menonton aliran air yang mengalir pelan itu.Lagipula, mengapa ia sekeras kepala ini untuk bisa bertemu dan berbicara padaku? Jika ingin teman, bukankah mereka yang berada di Touman sudah cukup? Toh, di sana ada banyak anggota. Selain diriku, seharusnya ada satu atau dua orang yang mampu menjadi teman bicara untuknya. Takemichi contohnya.
Tak tahan akan situasi penuh kekikukan ini, lantas aku mengangkat suara, "Apa kau ada perlu, sekarang? Daritadi, kau terus-terusan diam."
"Ah, yah ... soal itu, aku sedang membenahi isi pikiranku agar tidak ada kalimat salah yang keluar. Tetapi, karena Haruna-san sudah membuka percakapan, berarti aku langsung saja, ya," balasnya dengan cengiran kecil, membuatku memalingkan wajah dan menghela napas panjang. Entah mengapa, aku bisa menduga kemana arah topik ini akan berlangsung, toh, ia juga sudah menanyakannya tadi. Iris biru kehijauan itu menatap lekat padaku, memperhatikan dengan seksama sekaligus tersirat rasa frustasi di dalamnya.
"Aku tidak tahu, apa salahku padamu. Bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau memang ada, kau perlu mengatakannya padaku dan bukannya menghindar seperti ini. Aku pikir, kita ... mempunyai hubungan yang spesial?"
Dahiku mengernyit, "Spesial? Seperti apa? Jangan mengada-ngada, interaksi kita sekedar saat bersama Baji-san saja. Kau harusnya pun tahu, meskipun sekolah kita sama, kita sangat jarang mengobrol atau menghabiskan waktu bersama. Kalaupun kau ingin mempunyai teman, lantas kau anggap apa Takemichi dan yang lain? Aku tidak ingin berteman dengan preman—ah, pengecualian Baji-san."
"Jadi, selama ini ... Haruna-san yang menganggapku sebagai kenalan saja memang benar, yah. Padahal, kau adalah salah satu penyelamatku, lho. Hanya saja, aku tidak akan menyerah sampai Haruna-san mengakuiku!"
Senyum yang ia ulas nampak miris, walaupun begitu, ia mencoba mendekat. Dengan terang-terangan, mempersempit jarak. Aku menepis lengannya yang tengah berusaha menggenggamku, namun nihil, ia berhasil. Helaian rambut pirang yang diterpa angin sepoi-sepoi, ekspresi sedih dipasangnya. Lantas, ia bertanya, "Apa kita akan selalu seperti ini, bahkan hingga kelulusan tiba? Aku tidak bisa membayangkan kehidupan selanjutnya tanpa menghabiskan waktu bersamamu, Haruna-san. Bagaimana jika aku akan berakhir seperti Baji-san, yang meninggalkanmu tanpa mengubah apa-apa di Touman?"
Melankolis, tetapi menusuk tepat di hati.
"Kau memberi perumpaan atau benar-benar akan melakukannya di masa depan? Dirimu yang meninggal karena ditembak di kepala seperti yang Takemichi katakan, apa kau pikir itu lucu bagiku?!"
Mataku terasa panas, begitu pula pipiku, seolah emosiku telah naik di kepala dengan sempurna. Mendapati diriku yang berteriak, Chifuyu tersentak kaget. Ia mengerjap seraya melepaskan genggaman tersebut, mengacak helaian rambutnya dan mendesah tertahan. Nada suaranya kali ini terdengar serius sekaligus penuh rasa bersalah, "Gomen, sepertinya aku terlalu egois hingga tak sengaja menyentuh topik sensitif bagimu, ya? Tapi, begitu ... haha. Kurasa, kau tidak benar-benar membenciku, bukan? Kau hanya khawatir saja, bagaimana harus menghadapi perasaan akan ditinggalkan, seperti Baji-san kepada kita ini."
Ia menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri dengan tepat, meskipun tidak kuberitahu. Aku memalingkan wajah, tak berani menatap dia. Kalau sudah paham, segera pergi dari sini, itulah yang ingin kukatakan. Namun, aku tidak mampu. Sudah pasti, ia akan merasa kesakitan lagi, tertusuk oleh kalimat yang kuutarakan. Walaupun ia telah biasa bergelud dengan orang lain, hatinya itu benar-benar lembut, penuh akan kefanaan dari kebaikan.
Di dunia yang kotor ini, kebaikannya adalah salah satu dari unsur dari keindahan yang tak dapat didapatkan di mana pun. Menerima hal itu, sama saja aku buruk.
"Haruna-san?" panggilnya lagi, kebingungan akan diriku yang terdiam, tak membalas perkatannya. Ia melambaikannya tangannya di hadapanku, membuatku menghela napas panjang. Kemudian, pemuda pirang itu kembali mengangkat suara, "jika kau perlu sesuatu, aku akan mengabulkannya segera, selama itu masih dalam batas kemampuanku."
"Kau tahu bukan, aku menghindarimu selama ini, Chifuyu?"
Iris biruku bergulir, mengalihkan pandangan dan menatapnya. Lantas, ia mengangguk, mengiyakan pertanyaanku. Toh, dia pintar, tidak mungkin ia tidak menyadarinya setelah semua yang kulakukaan hingga saat ini dengan segala sikap yang begitu jelas tersebut. Aku membuka mulut, menanggapi, "Kenapa kau masih berusaha untuk menggapaiku? Aku tidak butuh teman sepertimu. Aku juga merasa takut menganggapmu teman."
"Ah ... soal itu, ya."
Ia mengerjap, mengulas senyum sendu. Ia bangkit, merentangkan tangannya dan memasang cengiran seperti biasa, "Siapa bilang kita hanya teman? Bukankah sudah kubilang bahwa kau adalah penyelamatku dan aku akan berusaha agar kau mengakuiku? Lihat saja, ke depannya. Aku akan membuatmu berkata 'Wah, Matsuno Chifuyu sangat hebat, aku senang karena sudah mengenalnya!' dengan bangga. Apa pun yang terjadi."
Itu artinya, meskipun kehilangan dirinya di masa depan, aku akan tetap bersyukur telah menemuinya. Tidak lucu.
"Hah? Apa-apaan itu? Apa kau bercan—"
Tatapan itu lurus padaku, menandakan bahwa ia sedang tidak main-main. Melihat ia yang bertingkah seperti ini, membuatku tersadar, sudah tidak ada jalan keluar. Ia cukup keras kepala, kukuh pada pendiriannya. Lantas, aku berdiri, membelakangi dirinya dan berjalan menjauh sembari mengibaskan tangan kananku.
"Kalau begitu, berusahalah. Waktumu sampai kelulusan, oke? Kau sendiri yang bilang kalau kau tidak ingin lulus tanpaku," ujarku tanpa menatapnya. Meskipun begitu, aku tahu ekspresi apa yang dibuatnya, terdengar jelas dari jeritan bahagia yang ia senandungkan. Pasti, raut wajahnya saat ini tengah cengengesan.
"Hehe, jangan pergi dari hadapanku, ya, Haruna-san! Oh, atau aku perlu memanggilmu Haruna-chan saat ini?"
"Untuk akhiran 'chan' rasanya terlalu aneh. Haruna saja. Tapi, aku lebih nyaman kalau kau masih memanggilku seperti biasa. Perubahan yang tiba-tiba ini, tak dapat kuatasi, asal kau tahu saja."
Ia terkekeh pelan, lalu menyeringai, "Terlalu memalukan untuk Haruna-san, ya? Aku paham, kok. Kata Baji-san, Haruna-san adalah orang yang kasar di luar dan lembut di dalam. Mengenai hal itu, aku sangat setuju. Selama ini, aku 'kan selalu memperhatikanmu. Di masa depan nanti, kau akan menerimaku memanggilmu seperti itu."
"Bisa diam, tidak?!"
Tawa itu, adalah hal yang selalu kulihat saat kami masih bertiga. Aku mendengkus kasar, tidak bisa memarahi untuk yang kedua kalinya saat mendapatkan dirinya yang seperti itu. Ia terlihat menikmati kegiatan menggoda diriku.
Mungkin, aku tidak bisa menjadi teman yang baik untuknya seperti Baji yang selalu kami kagumi. Aku tak dapat jujur dengan perasaanku sendiri, selalu menyakiti ia yang baik hati. Meski tahu bela diri, tetapi tidak memungkinkan bahwa aku tak akan menerima luka untuk ke depannya. Bila ia berhasil, akankah masa depan kami berubah hanya dengan memori kecil seperti ini? Jika iya, maka izinkan ia selamat, walau harus diriku sendiri yang merenggang nyawa, menggantikan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Graduation ⇢Matsuno Chifuyu × OC [✓]
Fanfiction"Kau akan berhenti menjauhiku, bukan? Aku tidak ingin lulus tanpamu di sampingku." Pemuda berandalan itu seperti kucing hitam liar yang manis, mengikuti Haruna yang bahkan bukan majikannya. Mereka bagaikan air dan minyak, tak mampu menyatu, tetapi b...