Episode 17 - Malam Stellarin 2

17 3 3
                                    

Suara keluar dari mulut Lilya, tetapi suara itu tidak dapat dikatakan sebuah kata-kata. Akibat kerusakan pada tenggorokan Lilya, segala teriakan yang dia keluarkan menjadi serak tidak bernyawa. Mata Lilya melirik kepada kedua tangan Louis, mendadak mengepal.

"Louis ... lepaskan!" Lilya berteriak dalam gumamannya.

    Pada saat itu juga, apa pun yang dilakukan Louis berhenti. Suara angin pupus, meninggalkan suara napas mereka berdua yang tersisa. Bayangan yang ada pada Louis menghilang, mengembalikan hawa Louis yang sebelumnya serta dengan ia. Melihat sebuah jalan keluar, Lilya langsung menampar pipi Louis hingga ia terdorong mundur dan terjatuh ke bawah kasur. Mulut Lilya gemetar, mencoba turun dari kasur dan berdiri. Dia membagi jarak, menjauhi Louis yang perlahan bangkit.

Louis menatap kosong permukaan lantai yang diselimuti oleh kabut rendah. Pelan-pelan ia mulai bergetar, merasakan sesuatu akan keluar dari dalam tubuhnya. Lilya bergegas keluar ruangan dan mengambil sebuah ember dan memberikannya kepada Louis. Meskipun kejadian beberapa saat yang lalu membuat Lilya tidak berani macam-macam lagi dengan Louis, kali ini dia dapat melihat setitik cahaya pada Louis. Ia masih dapat disadarkan.

"Louis, keluarkan semuanya!" perintah Lilya dalam gumamannya.

Lirikan mata Louis melihat tangan Lilya yang memberikannya ember tersebut. Dengan cepat ia raih dan merampasnya dari Lilya. Dari dalam dirinya, sesuatu mendadak ingin keluar seperti ombak yang menggoyangkan segalanya. Louis mengangkat kepalanya, mempersiapkan sesuatu, sekaligus memberi aba-aba bagi Lilya untuk menjauhinya.

"Hoek!" Dari dalam mulutnya, aliran deras berwarna merah keluar dari mulutnya dan dengan cepat mengisi ember tersebut.

Lilya menutup mulut dengan kedua tangan, menutupi rasa jijiknya dari muntahan Louis. Dia perlahan melangkah mundur menjauhi Louis yang perlahan kembali kepada kesadarannya.

Louis menurunkan ember dari kedua lututnya ke lantai; menoleh menghadap Lilya. "Lily ...."

Sorot mata lama itu ke bali lagi seperti sedia kala, sama seperti yang Lilya ingat. Dadanya yang sesak itu membaik hingga pada akhirnya Lilya dapat mengeluarkan napas lega. Tangan menepuk dada, Lilya berjalan menuju pintu sembari tidak melepaskan mata dari Louis.

"Aku akan mengambilkan air. Tunggulah sebentar!" Lilya berlari keluar ke luar kamar.

Suara tapak kaki tergesa-gesa itu semakin lama semakin mengecil. Louis melirik sekitar dengan minimnya ia menggerakkan kepalanya. Tidak ada suara lain selain suara daun bergesekan yang ditemani cahaya rembulan dari luar jendela. Louis mengangkat tangan, menutupi mata kanannya. Ia memejamkan mata, mencoba untuk berpikir dan menyadari apa yang telah ia lakukan.

"Aku ... perlahan kehilangan kendali atas diriku. Aku nyaris membunuh Lilya dan mem—. Sial!" Louis meninju dinding, pukulan itu menggetarkan seisi dinding, tetapi tidak kuat untuk dapat menghancurkannya.

Menoleh melihat ember berisi cairan merah yang keluar dari mulutnya, Louis menutup sebelah mata, tertunduk sembari melihatnya. "Apakah itu sebuah pertanda bahwa ajalku sudah dekat?"

Tangan diangkat menekan dagunya. Tangan lain diangkat membentuk jemari yang perlahan menghitung satu per satu. Setiap kalimat yang diucapkan, Louis menekuk jemarinya. "Selama aku hidup, apakah aku pernah menghitung ... berapa lama aku telah hidup?"

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar cepat menghantam lantai. Dari luar ruangan, Lilya masuk bersama dengan sebuah gelas berisi air pada genggamannya. Melihat anak gadis itu masuk ke kamarnya membuat Louis tidak dapat menahan keinginan untuk tersenyum.

Rambut sedikit panjangnya terikat menjadi sebuah rambut poni di sampingnya. Lilya menyerahkan gelas itu yang diambil oleh Louis. Sembari meneguk air pemberian dia, Louis berdiri dari kasur dan mengelus kepala Lilya yang sangat empuk saat disentuh. Kedua kuping bergoyang dengan elusan tangan ia.

Tangan Louis ditarik dari kepala Lilya. "Maaf," ucap Louis tertunduk .

"Aku juga ingin minta maaf Louis. Seharusnya aku tidak membahas mengenai kenalan lamamu. Aku turut berduka atas—."

"Dan hingga sekarang, aku masih belum yakin dapat memaafkan diriku sendiri."

Bahu Lilya mendadak digenggam erat Louis. "Tidak kau tidak perlu Lily, dia sudah lama tiada. Ini adalah salahku, karena aku yang tidak dapat melupakannya."

Melupakan seseorang yang sangat dipedulikan adalah kerusakan terbesar yang pernah dirasa oleh Louis, begitu pun dengan Lilya yang tak lama itu pernah merasakan hal sama. Reaksi Louis sebelumnya lebih buruk ketimbang yang Lilya dulu rasakan saat seluruh Desa Lorien terbakar hangus. Hingga sekarang, ingatan itu kembali sederas aliran sungai yang bermuara.

Louis menaikkan alis. Tangan pada bahu Lilya diturunkan kepada pinggangnya. Lilya ditarik hingga mereka saling memeluk satu sama lain. "Rasa sakit itu, aku bisa merasakannya," bisik Louis di atas kepala Lilya tempat kedua kuping dia berada.

Kuping Lilya bergerak naik turun mendengar ucapan Louis. Dia mengangguk dalam pelukan Louis. Tersenyum lega, Louis menutup mata, membiarkan waktu berjalan sebelum akhirnya mereka saling melepaskan peluk.

Mereka berdua kembali duduk di atas kasur, saling memalingkan muka terhadap satu sama lain. Pertama, Louis menoleh kepada Lilya yang menyambutnya dengan mimik yang sedang mengigit bibirnya.

"Bisakah kau menceritakan semua yang terjadi kepada kenalanmu Louis?" tanya Lilya.

Louis terdiam sejenak, sebelum mengangguk pelan. "Angkat Stellarmu!" Louis menyuruh Lilya dengan lembut.

Lilya meraba dadanya, perlahan menyentuh sesuatu yang tak terlihat. Cahaya biru terpancar dari atas kepala sembari memunculkan kamera Stellar di bawah leher dia. Saat memegang dasar kamera tersebut, Louis menyentuh bidikan kamera Stellar, tempat delapan buah slot serta kristal inti berada. Bagian paling tengah ditekan, membuat kristal tengah berkelap-kelip.

"Berdasarkan Voyaging Crystal miliknya, akan ada dua sudut pandang yang  menaungi cerita ini. Aku akan menceritakan, dan kau akan menyaksikannya. Jadi aku memohon kepadamu untuk tidak berbicara hingga aku mengakhirinya."

"Terima kasih, Louis." Louis memejamkan mata. Dia duduk bersila, menarik napas dan menghembuskannya.

Louis menepuk kepala, mencoba mengingat apa yang telah terjadi saat itu. Ia dapat mendengar suara di sekitarnya menjadi larut kepada ujung tangan yang tengah menekan inti Stellar. Energoid dalam dirinya perlahan diserap ke dalam Stellar, sebagai mana mestinya bagi inti Stellar yang dapat menarik energoid.

"25 Desember 1878."

Stellar Temporis - SarnovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang