Bagian 3

72 8 0
                                    

Malam menjelang di Kota Pekanbaru, suasana Ervi dan Nadira terasa begitu hampa. Dulu mereka selalu sibuk melayani pengunjung. Apalagi malam seperti sekarang, banyak mahasiswa dari berbagai kampus yang datang ke sana. Sekedar nongkrong, bicara ngalor ngidul. Ada juga yang sibuk membuat tugas, mengejar deadline pengirimannya. Atau anak-anak organisasi kemahasiswaan yang membahas berbagai agenda mereka.

Ramainya warung mereka dulu membuat Ervi mampu membayar teman-temannya di kampus untuk bekerja disana. Tapi sekarang nasib teman-teman Ervi juga sama dengan karyawan perusahaan yang harus di rumahkan. Mereka memilih pulang kampung, agar biaya hidup dapat menjadi ringan. Sementara Ervi harus tetap di Pekanbaru, menemani Nadira yang masih berkuliah setiap harinya, berbeda dengan dirinya yang tengah mempersiapkan sidang akhir. Juga untuk dapat membuka warung, mengais rezeki sedikit demi sedikit di tengah kesulitan yang melanda.

Seharian itu pun juga tidak banyak pengunjung yang datang. Nadira tengah duduk di belakang kasir, menghitung hasil jualan mereka hari itu.

"Masih sepi aja, Kak," lirih Nadira pada Ervi yang juga tengah duduk di sampingnya. Melihat pintu warung, berharap ada sekelompok mahasiswa yang datang untuk makan disana.

"Kakak yakin bisa ngembaliin uang Bu Tini dalam waktu sebulan?" lanjut Nadira bertanya, ia merasa pesimis melihat hasil jualan mereka hari itu.

"Berdoa ajalah, Dir, semoga bisa kita bayar tepat waktu," jawab Ervi dengan lesu.

"Penghasilan kita nggak banyak sekarang, Kak, apalagi daging di freezer juga harus kita ganti dengan yang segar, rugi besar kita karena daging yang ada sekarang harus dibuang." Nadira berkeluh dengan keadaan yang mereka hadapi.

"Ya, udah, besok kita beli ayamnya sedikit saja, untuk kebutuhan jualan tiga hari, nggak usah nyetok ayam sebanyak biasa."

"Sejak pandemi juga gitu, Kak, tetap aja ayamnya bersisa, dan kita rugi terus, lama-lama bisa tutup warung ini."

"Hus!" potong Ervi dengan kesal, "kita mendiriin usaha ini susah payah lho, Dir. Jadi jangan ngomong yang jelek-jelek."

Nadira mendengus, ia juga tidak ingin berpikiran buruk, tapi keadaan yang membuatnya merasa takut menatap hari esok. Karena hanya kehancuran yang sekarang tengah menanti mereka di depan. Jika mereka bangkrut, warung tutup, mau tak mau mereka harus kembali ke rumah nenek di Dumai, kuliah mereka tak akan kunjung selesai, harapan mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik juga tidak akan bisa terwujud.

Suasana mereka lengang, dua kakak adik itu masih menunggu ada pembeli yang datang. Nadira bahkan sudah menghitung hasil jualan mereka hari itu lima kali. Ervi juga sudah bolak balik mengecek ponselnya. Menunggu kabar dari Dumai tentang keadaan nenek mereka. Serta menunggu pesan dari kekasihnya yang belum memberi kabar apapun sejak siang.

Malam itu, menjelang pukul sembilan, pintu warung mereka terbuka, Ardan masuk dengan langkah cepat. Jaket kulitnya berwarna hitam terlihat sedikit basah. Wajahnya terlihat kusam. Ia berjalan seraya mengeringkan tangannya yang basah karena baru dicuci di depan warung—mengikuti protokol kesehatan.

Nadira lekas berdiri, tersenyum hangat menyambut tamu warungnya malam itu. Sementara Ardan masuk seraya menatap lekat wajah Ervi yang tampak murung. Mengabaikan senyuman Nadira yang penuh keramahan.

Ah, laki-laki jauh lebih tertarik melihat wajah cantik seorang perempuan daripada senyum ramah perempuan lain. Ervi memang jauh lebih cantik dari Nadira, kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam, lurus sebahu. Berbeda dengan Nadira, tinggi gadis itu sekitar 150 cm, rambutnya setengah lengan, panjang, hitam, kulitnya sawo matang, namun guratan wajahnya tak secantik sang kakak.

Hingga sampai di meja kasir pun, Ardan masih melirik kepada Ervi yang membuang muka sejak ia masuk ke dalam tadi.

"Malam, Bang Ardan, tumben datang malam-malam," sapa Nadira berbasi-basi.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang