Bagian 4

63 10 0
                                    

Warung Ayam Renyah yang terletak di sebuah gang kecil, sudut Kota Pekanbaru itu telah dibuka sejak pukul setengah tujuh pagi. Nadira yang paling semangat bangun sejak pukul lima. Memeriksa semua bumbu di dapur, memastikan keadaan ayam potong di freezer, hingga mengecek semua alat masaknya. Gadis itu sibuk membersihkan warungnya, seraya berdoa pengunjung bakalan ramai hari itu.

Tangan Nadira cekatan mengelap meja-meja yang sebenarnya tidak kotor itu, maklum saja, memang tidak ada pengunjung yang makan di meja itu beberapa waktu belakangan ini. Adapun hanya hitungan jari, tapi Nadira tetaplah Nadira, gadis polos yang selalu semangat menatap hari. Membuang semua beban berat hidupnya dengan tersenyum, walaupun sesekali ia juga termenung, meratapi hidup yang terasa tak begitu adil bagi dirinya sejak kecil.

Menjelang pukul tujuh pagi, Nadira sudah duduk di belakang kasir. Melihat pintu warung, berharap pengunjung pertama akan datang untuk sarapan. Ah, tapi sudah sepuluh menit ia duduk disana, pengunjung tak ada yang masuk. Jalanan di depan warung itu sepi, hanya satu dua motor yang lewat.

Dua hari belakangan ini ia mendapat pelanggan baru, Ardan. Namun pagi ini laki-laki itu belum juga datang. Apa dia membeli makanan di warung lain? merasa tak nyaman di warung Nadira saat melihat keributan kecilnya dengan Erwin semalam. Nadira bertanya-tanya tentang itu.

"Sudah bersih-bersih, Dir?" Ervi yang membuat Nadira tersentak kaget.

Gadis berambut hitam itu menoleh, menatap Kakaknya yang mengucek-ngucek mata, khas orang bangun tidur.

"Tumben lambat bangunnya, Kak? ini udah jam tujuh," celetuk Nadira.

"Iya, susah tidur kakak semalam, gara-gara kamu."

"Eh, kok aku?"

"Ngorok kamu itu, bikin sakit telinga." Ervi tertawa, mendorong pelan bahu Nadira.

Nadira hanya mengernyitkan dahi, berpikir panjang. Apa benar ia tidur mengorok semalam? Sesaat kemudian, ponsel di saku celana Ervi berdering, ibu mereka yang kembali menelpon dari Dumai. Ervi yang masih menguap menutup mulutnya, kemudian lekas mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, Bu, gimana keadaan nenek?" tanya Ervi tanpa basa basi.

"Ini, Vi. Sudah dirawat di rumah sakit, tapi uang yang kamu kirim kemarin kurang. Masih butuh biaya lagi untuk menebus obat Nenek," jelas Bu Irma di seberang sana.

Wajah Ervi yang tadi tampak kusut khas orang bangun tidur seketika berubah pias.

"Kurang, Bu? Itu aku kirim lima juta, lho, masa masih kurang?" tanya Ervi dengan nada menekan.

"Duh, uangnya juga ibu pakai untuk keperluan rumah, Vi. Adik-adik kamu juga butuh uang untuk sekolah onlinenya."

"Astaga, IBU! itu tanggung jawab papa, bukan aku, kenapa uang yang aku kirim kemarin malah iIu pakai buat keperluan, Ibu?" Ervi bertanya dengan lantang, matanya berapi-api, menahan luapan emosi yang terasa memuncak.

"Kamu ngerti dengan keadaan ibu dong, Vi, ibu sama papa lagi nggak ada pemasukan, bantu sedikitlah dari hasil usaha kamu," jawab Bu Irma membela diri.

Ervi menggeleng, ia menggigit bibir, semakin geram dengan Bu Irma. Jika saja ibunya itu ada di depannya sekarang, mungkin Ervi sudah memakinya dengan emosi yang tak tertahan. Sementara itu Nadira di samping Ervi juga tampak pias. Khawatir dengan keadaan nenek di Dumai.

"Ibu tahu nggak? itu uang aku pinjam sama tetangga, harus dikembaliin dalam sebulan. Warungku sepi, Bu, nggak ada pengunjung karena pandemi ini, Ibu bisa paham nggak sih kesusahanku dan Nadira sekarang?" bentak Ervi setengah berteriak.

"Duh, Nak, bukan ibu nggak paham, tapi kasihani juga adik-adikmu, papa juga udah cari kerja lain, tapi memang susah keadaan sekarang. Sekarang tolong usahakan uang tujuh ratus ribu lagi, buat nebus obat nenek."

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang