Pertama

661 63 2
                                    

They used to be in love. The two of them; they loved to bicker, they loved to snuggle when their night routine has came, they loved to show their love language even when they were in front of their family, their friends, even in public. Semua orang tahu betapa bahagia mereka punya satu sama lain. They loved everything that they had. They used to have it all.

"You knew it well, Woo,"

Sebuah jeda cukup panjang memaksa laki-laki yang lebih tinggi itu untuk mengalihkan pandangannya dari jendela. Matanya berkilat cepat sebelum akhirnya menaruh seluruh fokusnya pada laki-laki yang baru saja menyebut namanya.

"You knew it, dan kamu akan selalu tahu kalau aku nggak mau berpisah dari kamu,"

Jeongwoo bisa merasakan pergolakan dalam dirinya, bahwa ia mencintai laki-laki yang menjadi lawan bicaranya sekarang, tapi di sisi lain, dia juga tidak mau dikekang oleh komitmen yang mereka punya, setidaknya sampai sekarang.

"Tapi aku juga nggak mau kalau kamu membagi perasaan kamu ke orang lain."

Kali ini Jeongwoo merasakan kaku pada kedua bahunya. Belum ada sepatah katapun ia ucapkan sejak ia masuk kamar dan mendapati kekasihnya sudah duduk di tepi kasur dengan jemari tangan kirinya yang tidak berhenti mengusap foto mereka berdua. Selama hampir 10 menit mereka di kamar, hanya kekasihnya, Junghwan, yang sedari tadi berbicara. Dan pernyataan terakhirnya membuat Jeongwoo akhirnya membuka suara.

"Kamu tahu?"

Hanya itu yang bisa Jeongwoo ucapkan. Dari sekian banyak pertanyaan tentang bagaimana bisa Junghwan tahu, dari siapa yang memberitahu Junghwan, dan sejak kapan Junghwan tahu hal itu, hanya dua kata yang bisa ia ucap. Sisanya terperangkap dalam kepalanya, seperti beradu untuk minta dikeluarkan. Tapi Jeongwoo tidak bisa.

Junghwan mengangguk. Tangannya berhenti menyentuh foto dan menaruh fotonya kembali ke atas nakas. Tatapan Jeongwoo sekarang tidak bisa lepas pada wajah kekasihnya yang sayu seperti menahan pilu, bahkan dia tidak ingat kapan Junghwan beranjak dari tempatnya dan kini sudah ada tepat di depannya.

Jeongwoo tidak bisa berbohong perihal keinginannya untuk memeluk Junghwan, untuk menghapus tatapan sayunya dan menggantinya dengan senyuman. Jeongwoo sadar, biarpun dirinya sudah mendua, tapi ia tidak bisa melihat Junghwan tidak bahagia. Bagaimanapun ia masih sayang; mereka masih sama-sama sayang. Tapi lagi-lagi ia tidak bisa.

"Aku tahu kok," suara Junghwan terdengar kecil di telinganya, dan Jeongwoo sakit mendengarnya.

"I know everything, Woo," Junghwan menambahkan. Tatapannya semakin sedih dengan mata yang berkaca-kaca, tapi ia tetap melanjutkan sebisanya.

"Cuma satu yang aku nggak tahu," jeda kembali tercipta ketika Junghwan mulai mendekat dan melingkarkan kedua tangannya pada Jeongwoo, kepalanya kini bersandar pada bahu kanan Jeongwoo dengan wajah menghadap pada ceruk lehernya. Junghwan menghirup napas panjang sebelum akhirnya menumpahkan pedih hatinya.

"Kenapa, Woo? Memangnya aku kurang apa sama kamu? Kamu mau aku bagaimana supaya kamu cuma sayang sama aku? Aku ja—”

Junghwan merasa napasnya tercekat. Jemarinya meremas kemeja Jeongwoo yang masih membatu dalam dekapannya, bedanya sekarang mata Jeongwoo ikut berkaca-kaca.

"Aku janji, aku akan turuti semua mau kamu, Woo,"

Tanpa peduli akan air mata yang tidak bisa ia tahan lagi, Junghwan tetap melanjutkan sambil terbata. Membuat Jeongwoo turut menteskan air mata, dan akhirnya menarik tubuh Junghwan mendekat dalam peluknya sambil menahan sakit atas permintaan yang Junghwan sampaikan setelahnya.

"I promise you I— I will do everything you want. Tapi aku mau cuma ada kita, Woo, jangan ada yang lain."

The Other Guy [End] - WoohwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang