Angela mematikan musik. Menarik Celene yang masih gemetar. "Aku bersimpati, tapi aku ingat kau sama sekali tidak pernah ikut latihan dan bukan salahku kalau kau melakukan kesalahan. Gerakan itu sudah diubah dua hari yang lalu. Kau akan tau kalau kau berangkat!" jelas Angela sambil menuntun Celene untuk bangkit. Bukannya dikasihani, Angela justru menceramahinya, jelas saja itu menyinggung perasaan Celene.
Saat Celene mendongak dari pergelangan tangannya, dia melihat semua kru basket dan cheers memperhatikannya. Muka Celene memerah, semerah darah yang mengalir di pipinya. Dia tidak suka jadi pusat perhatian. Satu-satunya caranya terhindar dari masalah ini selain berdoa agar dia menghilang di tempat adalah melarikan diri.
"Kau benar-benar mau pergi?" seru Angela dengan nada tak terima saat Celene keluar dari arena cheers. "Kau akan dapat masalah, Celene. Aku janji!"
Telinga Celene kebas. Dia tidak mendengar ancaman Angela. Dia sedang memikirkan orang-orang yang pastinya sedang menggunjingnya, mengata-ngatainya lemah. Dia bahkan tidak sadar pergelangan tangannya yang geser kini menjuntai mirip onggokan daging tanpa tulang.
"Celene!" pekik suara laki-laki diiringi ketukan sepatu dari arah lapangan basket. Celene mengetahui nada pelan dan maskulin itu. Dia adalah Andrew, si pemilik dagu manis dan bahu lebar. Tidak seperti penampilannya tadi yang memakai hoodie biru langit, kini dia memakai kostum basket sekolah.
"Kau baik-baik saja?" tanya Andrew menatap darah di dahi Celene yang berkilauan terkena lampu sorot aula.
"Tinggalkan aku, Andrew!" pekik Celene mengenyahkan lengan Andrew yang menempel di bahunya. Celene baru sadar rasa nyeri menjalar di antara punggung dan lengannya.
Andrew menarik napas. Kakinya bergerak ke arah tempat para anggora cheers sedang memulai latihan dengan tawa riang seolah tak ada masalah sama sekali, bahkan Angela sudah menyembunyikan musik dan siap berhitung.
"Angela!" seru Andrew, memecah formasi para anggota cheers yang siap bergerak. "Aku pikir kau tidak perlu belajar ilmu sosial untuk tau bahwa peduli kepada temanmu itu penting," cemooh Andrew sambil mematikan musik di radio.
Angela menggerakkan poni di atas dahinya. Menggelembungkan pipi karena marah. "Apa masalahnya denganmu?"
"Masalahnya, Celene adalah temanku."
"Tapi dia bukan temanku."
"Temanmu atau tidak, dia manusia. Perlakukan Celene layaknya manusia! Kecuali kalau kau yang bukan manusia," cemooh Andrew membuat kedua mata Angela membelalak marah.
"Mau jadi ibuku yang suka perintah?" cela Angela seraya mendekati Andrew. Mengirim segenap kebencian lewat sorot matanya padahal dia pernah naksir cowok itu di tahun pertama sekolah.
"Aku tidak keberatan jadi ibu, tapi aku tidak sudi punya anak seorang gadis kurang ajar sepertimu."
Angela terperangah. Dia tak punya jawaban sampai Andrew keluar dari aula padahal teman-temannya sudah memintanya untuk kembali.
Celene sedang menyebrangi parkiran saat Andrew sampai di tangga aula. Vandegrift High School punya parkiran yang sangat luas sampai kau akan membutuhkan empat puluh menit hanya untuk menyebrangi dari ujung hingga ujung.
"Celene!" teriak Andrew menggema di antara barisan mobil sport yang terparkir milik para siswa kaya.
Celene tidak berhenti, bahkan menoleh. Dia menekan tisu basah dengan tangan kirinya dan terus melangkah keluar dari area sekolah. Dia tidak sadar langkahnya cukup sulit diimbangi dengan langkah Andrew yang panjang dan cepat. Laki-laki itu sudah berada di sampingnya dengan napas ngos-ngosan, bahkan sebulir keringat menetes ke seragam olahraga dari dahinya yang tertutup rambut.
KAMU SEDANG MEMBACA
HURRICANE
Science Fiction[Follow dulu, yuk!] Hidup di lingkungan berisi keluarga para militer, Celene merasa tak nyaman karena keluarganya hanyalah keluarga biasa. Ibunya yang galak hanya seorang forensik, ayahnya gelandangan, sedangkan dia dan kakaknya masih sekolah. Bukan...