Andrew menggosok kedua matanya dengan punggung tangan, menguap lebar. "Kau benar-benar datang?" Dia melirik jam digital di atas nakas yang menunjukkan pukul dua lebih sepuluh menit.
"Aku tidak bercanda." Celene duduk di kursi gamer yang sering Andrew sebut sebagai singgasananya. Andrew selalu melarang siapapun duduk di kursi itu, tetapi kali ini dia masih tidur-tidur ayam dan tak peduli apa-apa selain melanjutkan jam tidurnya.
Celene menghidupkan komputer. Keyboard di bawah jarinya langsung menyala-nyala. Dia menoleh ke belakang, tempat Andrew sedang tidur dengan posisi kepala terkulai di tepian ranjang. Celene meraih bolpoin dan melemparnya ke kening Andrew.
"Aduh!" pekik Andrew. Menggosok dahinya, lalu mendengkur lagi.
"Bantu aku, Andrew!" seru Celene membuat Andrew seketika membelalak dan mengarahkan telunjuknya ke bibir, menyuruh Celene untuk merendahkan suara.
"Jangan tidur! Bantu aku buat essai!" tegas Celene. Merendahkan nada suaranya.
"Itu tugasmu, buat sendiri. Tugasku cuma menemani."
Celene merotasikan bola matanya. "Menemani sambil tidur? Itu tidak membantu sama sekali."
Andrew menarik selimutnya. Menutup seluruh badannya dan menyisakan kepalanya yang terkulai agar bisa bernapas dengan lancar tanpa halangan. "Terserah," katanya. Lalu memperbaiki posisi tidurnya seperti semula.
Celene tidak sempat menjawab, Andrew sudah mendengkur lagi. "Dasar pemalas!"
Mau tak mau Celene harus mengetik sendiri. Menyusun kata-kata sebisanya. Membuka website untuk mencari referensi dan yang ia dapatkan membuatnya geleng-geleng kepala. Paragraf-paragraf itu membuatnya merasa seperti manusia paling bodoh di dunia.
Hembusan napas keluar dari mulut Celene semudah dia mengetik dengan jari kiri. Baru beberapa kalimat, dia merasakan tangannya langsung nyeri karena tidak terbiasa digerakkan daripada jari kanannya.
Jari kelingking Celene menekan tombol titik dan akhirnya dia menyerah. "Andrew, aku sudah selesai. Bisa kau cek?" dia melirik ke arah Andrew yang kini sudah berubah posisi lagi.
"Andrew!" Celene melempar buku setebal kotak makan ke kaki Andrew. Cowok itu menggeram marah.
"Tolong jangan ganggu jam emasku, Celene!" rengek Andrew dari balik selimut yang menutup mulutnya.
"Aku sudah selesai. Tolong cek pekerjaanku!"
Kata tolong yang keluar dari mulut Celene benar-benar seperti sihir bagi Andrew. Cowok itu langsung membuka mata. Menyibakkan selimutnya. Dengan langkah gontai, mendekati kursi gamer. Sempat mengusir Celene sebelum duduk di sana dan melebarkan matanya untuk memeriksa pekerjaan Celene.
Mulut Andrew langsung menganga. Dia pikir Celene sudah menyelesaikan satu essai lengkap dengan kesimpulan dan daftar pustaka, rupanya gadis itu baru menulis tiga buah paragraf yang masing-masing terdiri dari dua baris.
"Kau mau mengumpulkan ini kepada mister Stark?" Andrew bertanya untuk memastikan.
Celene mengedikkan bahunya. "Kenapa tidak. Salahmu, tidak mau membantuku."
Andrew menggeram marah. Tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dadanya menggembung menahan napas, lalu mengeluarkan napas itu perlahan. "Oke, terpaksa aku akan buatkan essai-mu."
Senyuman tercetak di bibir Celene. Gadis itu duduk di ujung tempat tidur dengan ekspresi puas.
"Ter-pak-sa," tegas Andrew, sama sekali tidak membuat Celene menyesal.
"Ya, aku dengar."
"Jangan tidur di situ!" perintah Andrew merasa tak rela Celene bersantai-santai ria sementara dia sibuk mengetik dan mengorbankan jam tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HURRICANE
Science Fiction[Follow dulu, yuk!] Hidup di lingkungan berisi keluarga para militer, Celene merasa tak nyaman karena keluarganya hanyalah keluarga biasa. Ibunya yang galak hanya seorang forensik, ayahnya gelandangan, sedangkan dia dan kakaknya masih sekolah. Bukan...