Bagian 1

6 1 0
                                    

"Mbak Sita kita duluan, ya."

"Iya, silakan."

Siti Masyitoh atau biasa dipanggil Sita. Gadis berlesung pipi berusia 20 tahun itu masih dengan khusu' bermunajat pada sang ilahi. Sudah menjadi kebiasaannya setiap habis shalat berjamaah dengan para santri yang lain, Sita memilih untuk tetap berdiam diri di mushalla pondoknya. Berdiam diri sambil terus bermunajat, membaca wiritan kesukaannya.

Sekitar dua belas tahun lalu Sita dititipkan kedua orang tuanya di pesantren Al Hidayah. Pesantren yang letaknya berada di tengah pedesaan pulau madura, pesantren yang cukup besar itu menampung ratusan santri yang terdiri dari desa-desa tetangga dan juga dari desa mereka sendiri. Tidak ada santri yang berasal dari luar pulau. Sita, sejak dititipkan dua belas tahun lalu tidak pernah sekalipun didatangi kedua orang tuanya untuk sekadar  menjenguknya. Tidak ada Ayah ataupun Ibunya datang berkunjung ataupun mengiriminya uang jajan selama Sita hidup di pesantren sebagaimana layaknya santri yang hidup di pesantren. Setiap kali ada kunjungan para wali santri Sita harus menelan kekecewaan karena orang tuanya tidak pernah datang.

"Sita tidak boleh pulang, nanti jika teman-teman Sita pulang karena liburan pondok, Sita tetap tinggal di pondok ini. Tidur bareng Bu Jum, ya." Begitu titah Bu Nyai setiap hampir liburan semester dan pulang pondok. Selama dua belas tahun itu Sita tidak pernah pulang ke rumahnya. Sita seperti terkurung di tempat suci. Bukan tidak ikhlas, Sita sangat ikhlas dan sangat bersyukur mempunyai teman-teman yang begitu peduli padanya, mempunyai Bu Jum yang telah segenap hati memberikan perhatiannya pada Sita. Namun, Sita juga ingin melihat seperti apa orang tuanya saat ini. Dua belas tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi Sita.

Rindu rumah, rindu Ayahnya, rindu Ibunya, rindu saudaranya, kadang sering memenuhi isi pikirannya. Sita tidak pernah tahu apa alasan kedua orang tuanya tidak pernah datang menjemput Sita. Usia Sita saat dititipkan di pesantren masih sangat kecil, Sita hampir lupa bagaimana proses dia dititipkan dulu. Yang diingatnya, sebelum Sita akhirnya ada di pesantren ini, Ayahnya marah besar padanya, memukulinya dengan rotan, Sita kecil menangis sampai menjerit. Sore hari setelah kejadian itu, Sita dibawa pada pesantren ini. Sejak saat itu, tidak sekalipun Sita bertemu orang tuanya dan juga saudaranya.

Di tengah khusu'nya bermunajat air mata Sita berlinang deras, bayang-bayang keluarga kembali memenuhi isi pikirannya. Rindunya semakin berat, rindu yang tertumpuk selama dua belas tahun lamanya. Kini usianya sudah bukan usia remaja, Sita pikir setelah lulus Madrasah Aliyah dia akan dijemput oleh keluarganya dan dibawa pulang, seperti teman-temannya yang lain. Setelah pengumuman kelulusan Sita terus tersenyum sambil berharap keluarganya juga datang menjemput. Harapan tinggal harapan, keluarga yang dinanti tidak pernah datang.

"Sita tetap tinggal di pesantren, ya. Temani Bu Jum masak untuk para santri, temani dia bersih-bersih juga. Kasian dia sudah sepuh."

Lagi-lagi titah Bu Nyai tidak dapat Sita tolak. Sita hanya mengangguk ta'dzim meski ada kekecewaan di sana. Mengapa keluarganya tidak pernah datang menjenguknya?

.....



Sita baru saja menyelesaikan lipatan bajunya, setelah pulang dari mushalla Sita tidak langsung tidur. Kasur lapuk tempatnya dengan Bu Jum istirahat dua tahun terakhir kadang membuatnya sulit tidur. Jika sudah begitu, kadang Sita habiskan waktu malamnya dengan membaca ayat Al Quran untuk mengusir rasa bosan di tengah kesunyiannya.

"Belum tidur, Ta?"

Bu Jum baru saja masuk di kamar yang tidak terlalu luas itu. Dia baru saja habis dari rumah Bu Nyai, katanya Bu Nyai ingin sekali dipijat makanya Bu Jum disuruh ke dhalemnya. Kita orang madura menyebut rumah Pak Kyai dan Bu Nyai dengan sebutan 'dhalem'. Bu Jum bertubuh kecil sedikit gempal, sudah sangat sepuh. Di pesantren ini, Bu Jum adalah orang tua bagi Sita. Kasih sayangnya begitu tulus. Sita kecil kerap kali berkeluh kesah pada Bu Jum tentang orang tuanya dan Bu Jum selalu bisa menenangkan Sita. Namun, semakin dewasa Sita semakin berusaha tertutup. Dia jarang bercerita panjang lebar mengenai keresahannya pada Bu Jum.

Hadiah Untuk SitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang