Terhitung ini adalah kencan buta ketiga puluh kalinya dalam tiga bulan terakhir.
Terlahir dengan ketidaksempurnaan di bagian netra, membuatnya sukar mendapat pasangan yang bisa menerima dengan lapang dada, yang tidak perlu bersusah-susah terlihat nyaman padahal sebenarnya ingin lekas beranjak serta bisa menyuarakan cinta dan kesetiaan alih-alih rasa kasihan.
Hugo menyesap tehnya. Ia sedang menanti seseorang, seperti biasanya. Para gadis yang dikenalkan oleh sepupu-sepupunya yang terlampau perhatian. Berbekal latar belakang sebagai seorang seniman andal dan wisudawan salah satu Universitas kebanggaan kota, Hugo berhasil menggelitik sisi penasaran gadis-gadis manis. Sayang, ia tidak bisa melihat wajah-wajah cantik yang sesaat mengaguminya.
Hugo pikir, ia tidak akan cocok dengan gadis-gadis pilihan kerabatnya. Jadi ia memutuskan untuk menentukan gadis yang satu ini. Dibantu oleh anak tertua pamannya, ia berkenalan dengan seorang anonim dari aplikasi dating lantas menyusun janji temu di sini.
Meja kedua dekat rak buku, sebelah kanan dari pintu masuk adalah tempat yang Hugo pesan. Kafe ini juga milik saudara sepupu yang membantunya, jadi ia tidak perlu merasa canggung jika tetiba pasangan kencannya berkata ada urusan mendadak setelah menjawab telepon palsu.
Bel pintu kafe berbunyi, kepala Hugo terangkat. Ia merasa seseorang menatap ke arah duduknya, lantas tersenyum hangat. Jika itu pasangan kencannya kali ini, maka bagus. Jika tidak, juga bukan masalah beramah-tamah dengan orang lain.
Derap sepatu berhak tinggi, dengan aroma parfum lili dan sampo stroberi. Gadis dengan aroma manis itu berhenti di sebelah meja Hugo dan berkata, “Hugo? Christian Hugo?”
“Benar.” Hugo berdiri, mengulurkan tangannya yang disambut baik. Gadis kali ini memiliki tangan yang tidak sehalus gadis-gadis sebelumnya, tetapi suaranya jauh lebih ramah dan enak didengar.
“Silakan duduk.” Hugo mempersilakan, melepas jabat tangan mereka dan menarik kursi di hadapannya. Setelah berulang-ulang kali berkencan di sini, Hugo sudah hapal betul tata letak furniturnya.
Teman kencan Hugo mengangguk, lantas duduk di kursi yang ditarik kenalan barunya. Ia meletakkan tas tangan di atas meja sambil berkata, “Aku senang kita sama-sama pakai kacamata hitam. Selera berpakaianmu juga bagus.“
“Oh?” Itu reaksi yang beda, gadis-gadis sebelumnya biasa bernyata mengapa Hugo menggunakan kacamata hitam di dalam ruangan. Lalu setelah mendengar jawaban seperti ini, “Sebenarnya, aku tidak bisa melihat.” Lantas suara mereka akan berubah pelan, dengan nada tak enak berulang kata maaf diucapkan.
Sunyi. Tidak ada jawaban sampai Hugo kira gadis ini sudah kabur. Tepat ketika ia hampir yakin, gadis itu angkat suara.
“Aku juga,” katanya.
Hugo bisa merasakan beban tubuh gadis itu di atas meja. Ia mendekatkan dadanya ke arah Hugo hingga aroma tubuh lili itu semakin tercium. “Aku juga tidak bisa melihat orang lain,” gadis di depannya berbisik-bisik, “tapi, bukan karena aku buta.”
“Wah, menarik.” Hugo tersenyum lebar. Untuk kali pertama, bukan gadis-gadis yang merasa penasaran dengan bagaimana ia bisa kehilangan penglihatannya, tapi dia. Hugo penasaran. Sembari memajukan tubuhnya juga ia balas berbisik, “Benarkah bagaimana bisa?”
Gadis di depannya mendesah. “Ceritanya panjang.”
“Baiklah, kalau kau tidak mau cerita sekarang.” Mempertahankan senyum, Hugo melanjutkan, “Aku belum tahu namamu. Kemarin kau bilang akan memberitahu nama aslimu setelah kita bertemu.” Ia mengingatkan janji yang diucap sepupunya, tentu saja itu berasal dari pesan kiriman sang gadis.
“Ah, benar.” Gadisnya berdeham. “Tolong, jangan teriak.”
“Apa kau artis?” tebak Hugo.
Gadis di depannya menaikkan alis. “Bukan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind Date
Short StorySeorang pria mendatangi kafe milik keluarganya untuk menjalani kencan buta. Siapa sangka dia malah dipertemukan dengan sosok tak terduga.