Sekitar tiga kilometer mereka berjalan kaki dengan keadaan sudah menunjukkan gelap. Jaemin sudah merasa kelelahan. Roti lapis yang dibelikan Jeno di warung terdekat sudah tidak dapat membantunya. Untuk itu dia memaksa Jeno agar sejenak istirahat mencari penginapan.
Naasnya di wilayah hutan kota seperti ini mana ada hotel yang beroperasi. Sedari tadi mereka juga mencari tumpangan namun yang di dapat hanya tumpangan collbak yang hanya bisa mengangkut mereka sampai perempatan. Ah Jaemin jadi frustasi sendiri. Ia ingin mengumpat tapi gengsi dengan Jeno. Karena sejauh pengamatannya Jeno selalu memasang ekspresi tenang. Tipikal anak pramuka yang pandai mencari jalan keluar. Bahkan dalam keadaan tak berdayanya, Jeno menukarkan sepatu Sneekers nya untuk dua porsi makanan di warung, diganti dengan sandal swallow punya anak pemilik warung itu.
Kalau Jaemin sih, jangan ditanya, sepatunya murahan. Namanya juga dibelikan bunda.
"Kita istirahat disini saja." Timpalnya. Menunjuk gedung merah muda yang di depannya telah berjejer mobil.
Motel cuq!
Tapi karena tak tega dengan ekspresi lelahnya, Jaemin mengangguk saja. Pura-pura polos. Gak tahu gunanya motel itu apa. "Elo bayar pake apa Jen?"
Jeno langsung menunjukkan jam rolexnya. Masih bagus. Semoga saja resepsionisnya setuju. Karena Jaemin rasanya sudah mau pingsan jika harus dipaksa jalan kaki lagi.
Beruntungnya mereka berhasil mendapatkan kamar walaupun hanya satu kamar yang tersisa tapi dengan nuansa yang aneh bagi Jaemin. Tidak seperti hotel yang biasa menyediakan sprei putih juga lampu cerah, tempat ini justru bersprei merah dengan pencahayaan redup. Sepasang bathrobe tersedia disana beserta satu kotak hitam yang berisi seks toys.
Lagi-lagi Jaemin bersikap polos. Sengaja dia menjatuhkan handuk di atas kotak itu supaya tidak dilihat Jeno. Sembari menunggui Jeno mandi, Jaemin terus menerus bergerak gusar. Apakah Jeno akan tidur di sisinya? Tapi dugaan itu salah ketika Jeno justru mengambil bantal dan berbaring di bawahnya.
"Tidur. Besok gue pinjam telpon motel buat minta tolong dijemput Kak Mark!" Jaemin mengangguk. Adem banget kalau ngomong sama Jeno. Bawaannya gak ngegas kayak Mark, juga gak mesum kayak Jisung.
"Jen-Jeno...?" Panggilnya beberapa saat. Sebenarnya Jaemin ingin mengecek apa Jeno sudah tidur atau belum. Karena sedari tadi dia mendengar suara gemerisik di bawah. Jaemin yakin bahwa Jeno sedang tidak nyaman di bawah. "Udah tidur?"
"Belum."
"Khawatir belum membalas chat Renjun yah?" Godanya namun tak ada sahutan. Jaemin menilik ke bawah sebentar dan dilihatnya Jeno kesulitan mengatur posisi tubuh. "Baiklah, lo boleh tidur di atas tapi harus dipisah guling yah."
Tanpa banyak kata Jeno langsung memindahkan dirinya ke atas bed. Terpaksa Jaemin harus menggeser tubuhnya ke samping agar muat untuk dua orang.
"Lo sendiri gak tidur?"
"Gue kebiasaan kalo di tempat baru susah tidur. Tapi gak usah khawatir, entar juga merem sendiri."
Biasanya kalau sedang berada di tempat baru, bundanya selalu menelpon guna memastikan dirinya bisa tidur dengan tenang. Tapi sekarang Jaemin sangat yakin kalau tidurnya akan larut.
"Jen Jeno?"
"Hmm...?"
"Lo pernah nge-seks nggak sama Renjun?" Jaemin segera mengumpati dirinya sendiri. Bisa-bisanya pertanyaan itu keluar dari mulutnya begitu saja.
"Menurut lo?" Jeno jadi menyingkirkan guling yang berada di tengah.
"Gue sih gak masalah." Karena yang Jaemin pikir, jika Mark saja melakukannya, Jisung juga, kenapa Jeno tidak? Sudah dari sananya gen Jaehyun begitu semua.
YOU ARE READING
Not A Cinderella Story (MARKMIN-NOMIN-SUNGJAEM) REPUBLISH
FanfictionJaemin terpaksa hidup diantara ketiga saudara tirinya. Mark si penindas bak dementor Jeno si dingin yang kalau ngomong mbayar atau Jisung yang suka ndusel-ndusel alus...