Sungguh Jaemin tidak pernah merasa bahwa hidup di keluarga Jung adalah awal dari kesengsaraannya. Ia tidak pernah peduli pada kondisi sekitar. Pada Mark yang suka menindas, Jeno yang diam-diam menghanyutkan atau Jisung yang selalu membahayakan. Tidak, Jaemin tidak pernah menjadikan mereka sebagai ancaman walau pun beberapa sikap dari mereka memang menyebalkan.
Sampai perkara Hyunjin membuat beberapa dari sifat mereka yang berubah. Katakanlah mereka lebih perhatian, lebih peka dan itu tiadalah cukup membahagiakan jika Ayahnya pun melakukan hal yang sama.
Mereka berjalan-jalan bersama, sebuah mimpi sederhana Jaemin di masa kecil. Merasa bahwa ayahnya sesayang itu padanya.
"Ini calon istri ayah."
Dan satu kalimat itu pun merubah segalanya.
Seolah bahwa Jaemin memang dipermainkan. Diangkat kelangit lalu dilempar begitu saja.
Mengapa harus Jaemin. Mengapa harus dia yang mendengarnya lebih dulu terlebih dia punya harapan-harapan berlebih tentang sosoknya?
Jaemin tidak mau munafik. Maka dengan kerendahan hati, ia pun berjalan begitu saja meninggalkan ayah beserta calon istri barunya. Ia tidak peduli pada panggilan namanya. Bagaimana Jaehyun yang mengejar namun membuatnya semakin berlari. Ia sudah menjadi anak baik selama ini, apa salahnya jika hari ini dia sedikit membangkang.
"Jaemin." Suara itu masuk dalam indranya, membawanya untuk melihat siapa pemiliknya. "Lo ngapain disini?"
"J-jenoo...?" Bergetar dan terdengar pias. Ia benar-benar tidak baik-baik saja dan butuh pertolongannya. Tapi disisi lain terdapat Renjun yang mentapnya seduktif.
"Ada apa, hemm?"
Jaemin menolak menjawab. Masalah ini terlalu memalukan jika didengar oleh yang bukan keluarga. Akhirnya Jeno mengerti. Kembali pada Renjun dan meminta pengertiannya. "Bisa nggak kita tunda jalan-jalannya sebentar?"
"Tapi Jen...?"
"Tolong Renjun?" Pada kondisi normal Renjun akan mencak-mencak dan menyalahkan Jaemin. Tapi apa yang dilihatnya sekarang, sosok manis bergigi gingsul itu mengangguk pelan. Walau terlihat jelas ekspresi sedihnya.
"Yaudah, aku pulang sama sopir aku aja. Buruan ditenangin adeknya."
Jeno mengangguk. Pergerakannya beralih ke Jaemin dan menuntunnya menuju mobil. Jaemin seakan-akan kehilangan jiwa malam ini. Masih syock dan tidak akan berbuat banyak.
"Ada apa? Bukannya lo tadi abis jalan sama ayah?" Tanya Jeno tanpa menyalahkan mesin mobilnya.
"Dia mau nikah lagi."
Jawabannya tidak membuat keterkejutan untuk Jeno. Melainkan seringai tipis seolah dia paham bagaimana akhirnya.
"Ayah itu masih muda, kaya, tampan, harusnya itu perkara yang gak bikin lo kaget."Komentar Jeno. "Kecuali kalau lo diam-diam nyimpen harapan ke dia. Dan gue anggap tangisan ini sebagai bentuk kekecewaan."
"Lo pengen ayah balikan sama Bunda lo kan?"
Skak Mat! Jaemin tak bisa lagi menyembunyikan tangisannya. Kedua tanganya ia gunakan menutupi wajahnya. Disanalah dia mengutarakan semua. "Gue bego yah?" Kutuknya pada diri sendiri. "Gue pikir ayah juga bakal berubah buat lebih perhatian sama gue. Gue pikir ayah juga bakal berubah buat lebih sayang sama gue. Gue pikir ayah bakal berubah dan memfokuskan diri untuk mengurus anak-anaknya bukannya nikah lagi dan malah... hikkss?" Tangisnya pilu.
Membiarkan begitu saja bagaimana tangan kekar itu menarik dan menenggelamkan dalam rengkuhannya. Jeno berusaha meredahkan tangisnya dengan memeluknya. Ada perbedaan pandangan antara keduanya. Bagaimana Jeno atau Mark yang sudah menerima sisi manusiawi ayahnya, namun Jaemin belum.
YOU ARE READING
Not A Cinderella Story (MARKMIN-NOMIN-SUNGJAEM) REPUBLISH
ספרות חובביםJaemin terpaksa hidup diantara ketiga saudara tirinya. Mark si penindas bak dementor Jeno si dingin yang kalau ngomong mbayar atau Jisung yang suka ndusel-ndusel alus...