"Kamu mau membawaku ke mana?" tanya Senja cemas pada pria yang sedang mengemudi dengan kecepatan tinggi. Gadis yang semula diam saja, kini cemas saat mobil telah jauh meninggalkan kota.
Laki-laki bernama Sabda menoleh sejenak. Tidak menjawab.
"Mas, kita mau ke mana?" pekik Senja mulai geram sambil memukul bahu laki-laki itu. Sabda tetap bergeming dan fokus pada jalanan yang menanjak. Senja terlihat mulai panik. Mobil terus melaju di jalan berkelok dan makin menanjak. Di kiri kanannya hutan pinus dan jurang.
"Jawablah kamu mau membawaku ke mana?" suara senja tetap meninggi sambil menatap Sabda dengan mata memerah, antara marah dan hendak menangis. "Kamu mau apa?"
Sabda tetap fokus pada jalanan. "Kamu akan tau setelah kita sampai nanti," jawab tenang pria muda itu.
"Awas kalau Mas macem-macem sama aku," ancam Senja dengan sengit. Sabda membuka dasbor dengan tangan kiri. Di keluarkannya sangkur dari sana dan meletakkan di pangkuan Senja. "Pegang ini! Jika kamu takut aku akan macam-macam."
Bukannya tenang, Senja makin gemeter. Sepagi ini banyak hal tak terduga. Harusnya dia janjian dengan Arga, kekasihnya. Untuk beli baju buat acara pertunangan mereka besok, tapi pria itu hilang begitu saja. Di hubungi juga tak bisa. Terus tiba-tiba saja Sabda datang menemuinya di restoran tempat Senja janjian dengan Arga. Pria itu memaksanya pergi dari sana dan sekarang membawanya naik ke daerah pegunungan. Satu jam perjalanan dari pusat kota.
Mobil menapak di jalan yang mulai landai. Melewati beberapa vila yang sepi. Kemudian berhenti di sebuah vila megah bercat putih dengan beberapa kendaraan yang terparkir di halamannya.
"Hapus air matamu." Sabda menyodorkan sekotak tisu pada Senja. "Kamu harus kuat menghadapi apapun yang terjadi di dalam sana nanti."
"Ada apa?" Senja makin penasaran dan bingung.
"Ayo, kita turun. Kamu akan tahu nanti."
Senja membuka pintu mobil. Hawa dingin pegunungan menyapa tubuhnya. Gadis itu memperhatikan sekeliling, semua terlihat menghijau dan sungguh menyegarkan. Namun dia terdiam ketika melihat ada mobil Arga terparkir di halaman vila. Di tenda besar yang di dominasi warna putih dan kuning keemasan. Beberapa kursi berjajar rapi dan berlapis kain putih. Wangi bunga melati, mawar, dan kasturi menyapa penciuman. Di bagian pinggir ada meja besar tempat hidangan.
Senja memandang Sabda. Pria itu memberi isyarat agar Senja mengikuti langkahnya. Canda dan tawa terdengar dari dalam vila. Senja terus mengekori Sabda hingga masuk lewat pintu utama. Semua yang ada di dalam memandang ke arah pintu. Di mana Sabda dan Senja berdiri tegak. Gadis itu tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Arga dan Citra sedang melakukan tukar cincin di depan backdrop bernuansa putih dan merah jambu.
Senja menutup mulutnya untuk meredam tangis dan teriakan yang hendak meledak.
"Kamu tahu kan sekarang," bisik Sabda.
"Sabda," panggil seorang wanita setengah baya yang memakai gamis brokat warna saleem.
"Ma," balas Sabda sambil sekilas memandang Mama dan Papanya yang duduk di deretan tamu undangan. Papanya Sabda adalah adik dari papanya Arga. Jadi mereka sepupuan.
Pada saat yang bersamaan Arga memandang ke arah Senja. Pria itu berdiri kaku, sedangkan gadis di sebelahnya menatap tak paham. Para undangan memandang ke arah Senja dan Sabda yang berdiri dengan kedua tangan di masukkan di saku celana.
Seorang wanita bergaun merah jambu menghampiri Senja. "Pergilah, jangan mengacaukan acara ini dan mempermalukan dirimu sendiri. Kamu lihat, bukan kamu yang layak bersanding dengan adikku." Tidak hanya tatapannya saja yang tajam, tapi kalimat yang keluar dari mulut kakak perempuannya Arga lebih tajam dari sebilah silet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pernikahan Biasa (Sabda-Senja)
RomanceArga bertunangan diam-diam dengan gadis lain tanpa memberitahu Senja, kekasihnya. Padahal hari itu juga hari yang telah direncanakan untuk melamar Senja. Peristiwa menyakitkan yang membuat Senja harus menghadapi pertunangan dan pernikahan kilatnya d...