"Mbak? Boleh ngobrol bentar, nggak?"
Zania yang semula sedang mengutak-atik sesuatu di meja belajar, refleks mendongak ketika mendengar suara tersebut. Dia menoleh dan mendapati sosok Kael yang masih mengenakan seragam sekolah di ambang pintu kamar yang memang tidak Zania tutup sempurna tadi.
Kegiatan Zania yang sedang berusaha memperbaiki kotak musiknya yang entah kenapa hari ini tidak mau menyala, terhenti seketika. Raut wajah Kael yang kusut ditambah fakta bahwa pemuda itu bahkan belum berganti pakaian, padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul lima sore. Terhitung sudah satu jam lebih semenjak kepulangan Kael dari sekolah.
"Masuk sini kalau mau ngobrol. Mbak lagi perbaiki kotak musik."
Kael melangkah dengan gerakan ragu, sebelum dia duduk di tepi kasur Zania yang terletak di samping meja belajar. Mata pemuda itu tampak memperhatikan kotak musik yang penutupnya telah dibuka dan kedua tangan Zania yang tampak mengutak-atik benda itu.
"Jadi ... mau obrolin apa?" Zania bertanya tanpa menoleh. Dia menyipitkan mata ketika melihat salah satu kabel di dalam kotak musiknya terputus. Mungkin, hal tersebutlah yang menyebabkan kotak musiknya tidak berfungsi hari ini.
"Tadi aku dipanggil ke ruang BK."
Gerakan Zania terhenti. Perempuan itu mendongak sekilas, lalu bertanya, "Kamu abis berantem?"
Dengan tegas, Kael menggeleng. "Aku dipanggil bukan karena abis bikin masalah."
"Lalu?"
"Konsultasi masalah jurusan kuliah nanti."
Mendengar itu Zania tertegun sebentar. Sibuk dengan urusan sebagai mahasiswa akhir dan kegiatan-kegiatan lainnya, dia hampir lupa bahwa tahun depan Kael sudah lulus SMA. Adik bungsunya itu akan menjadi mahasiswa sepertinya. Dan selama ini Zania belum pernah menanyakan jurusan, kampus, dan hal seperti apa yang diinginkan Kael.
"Kamu udah nentuin jurusan?" tanya Zania.
Kael tidak langsung menjawab. Pemuda itu tampak menimbang-nimbang sesuatu, dan Zania menunggu dengan sabar.
"Aku bilang ke Bu Eli, kalau ... mungkin, aku nggak akan kuliah."
Kegiatan mengutak-atik kotak musik Zania terhenti total. Perempuan itu menyipitkan mata dan mengalihkan tatapan ke arah Kael. Dengan tajam. Menuntut penjelasan. Selama ini Zania mengira Kael akan melanjutkan pendidikannya dan tidak mangkir seperti Putra dulu. Jadi selama ini pun, Zania tidak pernah mengobrolkan sesuatu seperti masalah pelajaran di sekolah, jurusan kuliah yang bagus, prospek kerja jurusan yang mumpuni, karena Zania merasa Kael bisa mengatasinya. Zania percaya dengan Kael.
"El ..."
"Aku nggak akan kuliah, Mbak."
Zania menggeleng, lantas terkekeh getir. "Terus kalau kamu nggak mau kuliah, kamu mau apa? Jadi kayak Putra?"
"Kenapa? Kafenya Bang Putra akhir-akhir ini katanya lagi rame, 'kan?"
"Tapi kamu nggak bisa ngikutin jejak Putra, El. Ngejalanin bisnis itu nggak mudah. Modalnya gede."
"Dan Bang Putra bisa, 'kan?"
"Dia bisa karena dari jaman sekolah Putra udah ngumpulin modalnya," jawab Zania tegas. "Dari dia SMA, Putra udah nerima pesanan bikin digital drawing sampe pernah kerja part time di kafe. Ketertarikan Putra terhadap bisnis udah ada dari dulu. Bahkan waktu SD dia sering jualan kelereng ke anak lain lalu setelah itu ngajakin main adu kelereng, dan ngeraup kelereng itu kembali, lalu dijual ke mereka lagi."
Kael tidak menanggapi. Teringat kelakuan-kelakuan Putra waktu pemuda itu masih kecil. Yang sering menang dari permainan adu kelereng, dan ketika mendapat semua kelereng anak lain, Putra akan menjualnya kembali ke teman-temannya. Lalu diajak bermain lagi, menang, dan kembali dijual. Sebuah strategi yang lumayan picik namun jenius di saat bersamaan. Menurut Kael, Putra tidak picik, kakaknya itu hanya berbakat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake Our Ineffable [Completed]
Romance"Lo mau move on, 'kan? Ya udah, tanggepin semua yang lagi deketin lo." "Nggak mau." "Nggak mau apa?" "Move on." "ZI!" ____ Zania merasa perjalanan hidupnya tidak ada yang sesuai dengan rencana. Gagal masuk Fakultas Psikologi. Gagal mendapatkan beasi...