01

8.3K 106 8
                                    



Di salah satu kursi bar, Hestia duduk dengan menyikangkan kaki jenjangnya sembari menatap orang-orang yang ada di sana. Segelas minuman beralkohol terlihat elegan di tangannya. Gaun malam hitam yang memperlihatkan belahan payudara dan pahanya terlihat begitu menggoda.

"Ku kira hari ini kau tak akan ke sini." Pria yang berdiri di balik meja bar pun berbicara pada wanita cantik itu.

"Kehidupanku terlalu memosankan tanpa bermain dengan pria." Jawab Hestia dengan mata yang masih mencari target.

"Tapi kau selalu mematahkan kepercayadirian pria-pria di sini." Pria yang sudah lama bekerja sebagai bartender tersebut sudah sangat hafal dengan Hestia. Dia adalah pelanggan setiap bar di sana yang selalu membuat pria-pria kehilangan kepercayadiriannya.

Hestia bagaikan bunga yang menarik lebah madu mendekat. Sosoknya begitu memukau dan membuat pria tergoda. Namun kabar bahwa wanita itu sulit dipuaskan adalah fakta umum disana. Hal itu membuat beberapa orang tertantang untuk mencobanya namun berakhir kecewa.

"Sial kenapa tak ada wajah baru di sini." Gerutu Hestia karena merasa sudah pernah bermain dengan pria-pria di sana.

Bartender itu menghela nafas dan ikut menatap pengunjung. "Itu karena kau tak pernah tidur dengan pria yang sama."

Hestia menegak minumannya. "Karena mereka semua membosankan."

Tak berselang lama, seorang pria menghampiri Hestia. Itu adalah pria yang minggu lalu tidur dengannya.

"Ayo bermain. Aku akan melakukan lebih baik malam ini." Pria yang berdiri di depan Hertia itu berkata dengan percaya diri.

Hertia menaruh gelas yang masih berisi cairan ke atas meja bar. Matanya menatap pria di hadapannya dengan pandangan menilai. Ia sama sekali tak tertarik karena ia yakin bahwa semuanya akan berakhir sama.

Tangan lentik Hestia menyentuh ujung kerah kemeja pria itu. "Berapa besar yang bisa kau pertaruhkan?"

Pria itu mengangkat tangan kirinya dan menunjukkan jam tangan mahalnya. "Kau bisa memilikinya."

Sebenarnya Hertia tak tertarik dengan jam tersebut tapi ia hanya ingin menghabiskan waktunya. "Baiklah." Tangan Hertia turun menyentuh milik pria itu yang masih tertutup celana. "Kita lihat apakah benda ini bisa memuaskanku atau tidak."

.

.

.

Suara penyatuan memenuhi kamar hotel namun tak ada desahan yang keluar dari bibir Hestia. Tatapan mata Hertia sudah mulai bosan dengan pria yang ada di atasnya.

Melihat ekspresi bosan Hestia membuat pria itu semakin mempercepat pinggulnya. Nafasnya terengah dengan bulir keringat yang membasahi keningnya. Ia mengumpat dalam hati karena ekspresi Hestia masih tetap tak berubah. Bahkan setelah ia ejakulasi, Hestia masih menampilkan rasa ketidak puasannya.

"Hah." Pria itu mendudukan dirinya. Tiba-tiba kesenangannya hilang karena lawan mainnya sama sekali tak merespon. "Sepertinya bukan aku yang tak bisa memuaskanmu, tapi kau yang memang tak bisa melakukannya."

Hestia menatap pria itu tak suka. "Kenapa ku menyalahkanku jika memang penismulah yang tak berfungsi."

Pria itu berdiri dan melempar jam tangan miliknya ke atas ranjang, dimana Hestia masih duduk. "Akui saja, semua pria di sini tau bahwa kau tak bisa melakukannya."

Hestia mengambil jam tersebut dan melemparnya ke wajah pria itu hingga menimbulkan suara keras. "Ambil saja kembali, aku tak butuh."

Hestia mengambil gaunnya dan memakainya dengan cepat. Dia keluar dari kamar hotel dengan keadaan kesal. Sebenarnya ia tak kesal dengan pria tadi, tapi ia kesal dengan sosok yang membuat semua ini terjadi.

Wanita yang Tak Pernah Bisa TerpuaskanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang