Part 5 Perasaan Bersalah

391 40 1
                                    

Bela. Gadis cantik yang telah mematahkan hatinya setahun yang lalu tanpa alasan yang jelas. Sayatannya masih terasakan hingga sekarang. Kalau ikutkan hati, dia tidak ingin turun menemui. Tapi seperti biasanya, Bela pasti datang bersama kedua orang tuanya yang memang rekan bisnis papanya Sabda. Tidak hanya sekedar rekan bisnis, mereka telah berteman baik sejak lama. Melebihi kedekatan dengan saudara sendiri. Sering juga keluarga mereka menghabiskan liburan bersama-sama.

Dikarenakan hubungan itulah yang membuat Sabda dan Bela makin dekat hingga menjalin asmara selama hampir dua tahun.

Dia wanita pertama yang di seriusin Sabda. Bahkan sudah ada impian sebuah pernikahan bersama Bela. Sayangnya, gadis itu memutuskan sepihak karena ingin berkarir di luar negeri. Dan sekarang kembali. Kembali sementara atau selamanya. Entah. Harusnya tak perlu lagi dia mencari tahu hal itu.

Baru saja hendak berdiri, ponsel Sabda berdenting. Di pikirnya balasan pesan dari Senja. Ternyata pesan masuk dari Arga. Sepupunya bilang sedang perjalanan ke rumahnya.

Sabda turun menuju ruang tamu. Menyalami Om Pras dan istrinya. Senyum Bela merekah, wanita bergaun tanpa lengan warna jingga itu berdiri dan mengulurkan tangan pada Sabda.

"Apa kabar, Mas?" sapa Bela.

"Alhamdulillah, sehat." Sabda tersenyum sambil duduk. Enggan menatap wanita yang telah tega membunuh harapannya.

Bela kembali duduk dan serba salah. Di pikirnya Sabda akan senang bertemu lagi dengannya. Apalagi setahun sudah tak berjumpa, sejak dirinya pergi ke Singapura. Tapi kenyataannya, laki-laki itu bersikap dingin dan begitu formal menyambutnya. Mungkinkah karena masih kecewa?

"Makin cantik dan glowing saja kamu, Bel. Kapan pulang? Biasanya mamamu ngabari Tante, ini enggak." Bu Arini bicara sambil memandang Bela.

"Baru tadi pagi saya pulang, Tante."

"Pulang terus atau cuti saja?"

"Pulang terus. Saya dapat tawaran pekerjaan yang lumayan di sini," jawab gadis itu sambil melirik papanya. Sebab Pak Pras sendiri yang menawarkan jabatan penting pada Bela, agar putrinya mau pulang.

"Syukurlah, biar mamamu nggak kesepian lagi," ujar Bu Arini sambil memandang Bu Pia, mamanya Bela.

"Dia sadar mau pulang sendiri dan bergabung dengan papanya, Jeng. Kayaknya juga ada yang sedang dirindukannya." Bu Pia berkata sambil memandang sekilas pada Sabda. Pria muda di hadapannya tersenyum tipis.

Hubungan mereka sejak awal memang di ketahui keluarga. Otomatis restu sudah di kantongi Sabda dan Bela tanpa susah payah meyakinkan orang tua. Bahkan mereka menyambut gembira hubungan itu, tanpa perlu repot menjodohkan seperti yang para orang tua rencanakan. Kedua keluarga sangat mendukung untuk rencana pernikahan mereka.

Saat mereka memutuskan break, orang tua masih berharap dan getol membujuk agar mereka kembali bersama.

Pak Prabu, papanya Sabda mengalihkan arah pembicaraan. Laki-laki umur enam puluhan itu tahu kalau putranya tidak nyaman dengan gurauan para istri. Walaupun beliau tahu betapa patah hatinya Sabda kala itu, tapi putranya akan berpikir berulang kali untuk menerima Bela kembali.

"Ma, coba lihat Mbok Sum udah selesai belum. Udah jam berapa ini, kita makan malam dulu," kata Pak Prabu.

Bu Airin segera bergegas ke belakang untuk melihat Mbok Sum menyiapkan makanan. Bu Airin membantu wanita yang masih suka berkebaya dan memakai jarik itu mengambilkan piring di rak. Sebenarnya tadi makanan dah siap di meja, berhubung ada tamu dadakan makanya Mbok Sum menyempatkan untuk menggoreng ikan dan ayam.

"Mau sekalian di bikinin kopi nggak buat Bapak sama Pak Pras?" tanya Mbok Sum setelah makanan makanan siap terhidang di meja.

"Nggak usah, Mbok. Nanti malam Bapak nggak bisa tidur malah saya yang susah, disuruh nemenin sampai pagi."

Bukan Pernikahan Biasa (Sabda-Senja)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang