Senja bernapas lega setelah Sabda menarik diri dan kembali menghadap ke depan. Pria itu merasa puas saat melihat wajah malunya Senja. Rintik Senja. Nama yang unik dan menarik.Mobil memasuki pusat kota dan melaju di jalan tol. Kerlip lampu-lampu kota terlihat dari ketinggian. Senja memandang ke samping, debar di dadanya belum juga reda. Dulu, dia akan menikmati suasana seperti ini bersama Arga saat mereka punya kesempatan untuk makan malam di luar.
"Namamu bagus ya. Rintik Senja. Kamu dilahirkan waktu senja?" tanya Sabda setelah beberapa saat mereka saling diam.
Senja memandang pria di sebelahnya. "Iya. Aku lahir menjelang senja, pada saat hujan gerimis, kata Ibuku."
"Kamu tahu, waktu aku harus nikahi kamu. Nina lah yang kutanyai nama lengkapmu. Untungnya aku langsung ingat. Lucu, mau nikah tapi tidak tahu nama lengkap perempuan yang akan dinikahi."
"Orang cerdas pasti mudah menghapal," puji Senja yang membuat Sabda tersenyum.
"Darimana kamu tahu kalau aku cerdas?"
"Seorang akuntan pasti cerdas. Ilmu matematika pasti hafal di luar kepala."
"Matematika ilmu pasti sedangkan akuntansi ilmu terapan. Dalam akuntansi matematik digunakan sebagai sarana berhitung dan berpikir logis. Seorang akuntan hanya harus mampu mempraktikan profesi akuntasi. Mampu melakukan fungsi bisnis dan mampu menerapkannya di dunia kerja. Fleksibel menurutku. Kurasa kamu pun tahu, kamu juga kuliah di jurusan ekonomi."
"Enak ya ngomong sama orang cerdas tuh!"
"So, pasti. Beruntunglah kamu memiliki suami yang cerdas." Tawa berderai mewarnai percakapan mereka. Candaan yang membuat denyar aneh dalam benak Senja.
"Ada yang ingin kubicarakan sama kamu. Tapi nanti saja setelah kita sampai di pelabuhan."
Senja mengangguk menanggapi kalimat Sabda yang berubah serius dan menimbulkan riak penasaran di hati gadis itu. Ada apa? Apakah pernikahan mereka akan berakhir?
Lantas mereka membicarakan tentang pekerjaan masing-masing, hingga mobil keluar jalur tol dan memasuki area pergudangan dengan kontainer-kontainer besar yang berjajar.
Sabda memarkir mobilnya dan mengajak Senja masuk ke sebuah bangunan yang menjadi ruang tunggu para penumpang kapal. Senja melihat beberapa orang duduk lesehan di lantai dengan beralaskan tikar atau kain panjang. Ada juga yang tidur. Tas-tas besar dan barang bawaan ada di sekitar mereka. Anak-anak kecil berlarian di ruangan yang lumayan luas itu. "Mereka penumpang yang menunggu kapal datang." Sabda memberitahu Senja.
"Karena takut telat atau mungkin rumah mereka jauh, makanya datang lebih awal," tambah pria itu sambil mengajak Senja masuk ke dalam lift.
Di bagian atas adalah tempat kuliner yang cukup ramai di kunjungi orang-orang yang ingin melihat suasana malam di pelabuhan sekaligus kulineran. Ada kios-kios yang di bangun dari bambu dan rumbai-rumbai sebagai atapnya.
"Mau makan apa?" tanya Sabda.
"Atau kita lihat-lihat dulu." Sabda mengajak senja melihat kios demi kios yang menjual aneka makanan.
"Mau makan nasi uduk dan ayam panggang? Enak banget, aku nggak bohong," kata Sabda menunjuk sebuah kios yang di padati pengunjung.
"Kita pesan dulu, nanti kita ambil setengah jam lagi." Sabda mendekati seorang pemuda yang menjadi pelayan di kios Nasi Uduk Bu Darmi. Pemuda itu mencatat pesanan Sabda.
Mereka keluar lewat pintu kaca dan langsung disambut angin dermaga. Di beranda ramai pengunjung malam itu. Mereka duduk-duduk di bawah payung besar, di bangku besi, dan ada yang duduk lesehan di atas hamparan rumput sintetis. Sabda dan Senja berdiri di pinggir beranda yang berpagar stainless.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pernikahan Biasa (Sabda-Senja)
RomantikArga bertunangan diam-diam dengan gadis lain tanpa memberitahu Senja, kekasihnya. Padahal hari itu juga hari yang telah direncanakan untuk melamar Senja. Peristiwa menyakitkan yang membuat Senja harus menghadapi pertunangan dan pernikahan kilatnya d...