Dream and You

7 0 0
                                    

Selepas kepergian Wijid, aku kembali bekerja seperti biasa. Rencananya toko akan tutup lebih awal karena Andra berulang tahun.

Seminggu sebelumnya, Lova yang mengusulkan ide perayaan itu. Tentu saja tanpa diketahui Andra.

Aku setuju saja sebab jarang-jarang kami mengadakan acara ulang tahun. Sepertinya, persiapan Lova dan Silva hampir selesai. Mereka baru saja dari ruangan sebelah yang dipergunakan sebagai tempat istirahat. Andra juga tidak menyadari ada kejutan yang menantinya. Dia bekerja giat seperti biasa.

"Semuanya, beres, Mbak. Ajak Andra ke dapur dulu. Kadoku di depan. Aku mau ambil tapi takut Andra tau," kata Lova padaku.

"Aman, Lov." Aku pun memanggil Andra dan menyuruhnya membuang sampah. "Tolong, buangin sampah ya, Ndra. Aku belum sempat tadi."

"Okey, Mbak." Cowok itu meletakkan baki dan berjalan ke dapur. Begitu sosoknya tidak terlihat lagi, barulah aku memberi kode pada Lova untuk cepat-cepat mengambil kadonya.

"Aduh, Mbak. Kasir nggak bisa ditinggal. Silva lagi sibuk bantuin Bang Dewas di dapur. Katanya, kue ulang tahunnya gosong."

"Kok, bisa?"

"Nggak tau tuh Bang Dewas. Ditinggal ngobrol kayaknya." Lova kembali melayani pembeli.

Pasti gara-gara Bang Dewas meninggalkan dapur tadi. "Ya udah, aku aja yang ngambil. Orang yang ngantar kadomu di depan, kan?"

"Iya, Mbak. Pake jaket warna cokelat."

"Okey, aku ambil dulu."

Begitu sampai di luar, aku celingukan ke sekitar. Memeriksa orang yang memakai jaket cokelat seperti yang disebutkan Lova.

"Atas nama Mbak Lova?" Sebuah suara berat terdengar dari belakangku.

Aku berbalik. Menemukan seorang laki-laki memakai helm fullface dan jaket cokelat. "Iya, benar."

Laki-laki itu membuka helmnya. Rambutnya yang berantakan sedikit dia sisir menggunakan tangan. Kemudian, wajahnya yang tegas dengan rahang yang kokoh terlihat begitu familier.

"Tanda tangan di sini, Mbak." Laki-laki itu menyerahkan sebuah pena dan kertas yang harus di tanda tangani sebagai bukti penerimaan. "Ini paketnya, Mbak. Sudah diterima, ya. Saya permisi."

Sebelum laki-laki itu berbalik, aku menangkap foto dan nama id card yang menyembul dari balik jaketnya. Seketika itu, secara refleks aku memanggilnya.

"Tunggu."

"Kenapa, Mbak?" Alisnya menukik. Bibirnya yang agak kehitaman-mungkin karena terlalu lama di bawah sinar matahari-sedikit mengingatkanku pada seseorang.

"Siapa namamu?"

Matanya mengerjap bingung. "Nama saya Marespatih."

"Nama lengkap?"

Keningnya setengah berkerut. "Marespatih nama lengkap saya."

"Oh, okey."

Aku masih memperhatikan pergerakannya menuju motor yang terparkir di seberang. Di depan sebuah toko bunga. Aku jelas melihat matanya yang tajam menatapku dari balik helmnya sebelum tancap gas.

___

Kejutan berjalan lancar. Setidaknya, Andra merasa senang atas kejutan yang kami berikan. Kue yang gosong dapat Silva kendalikan. Semuanya merayakan ulang tahun kecil-kecilan tersebut. Sampai kemudian, Andra berdiri dan menatap kami bergiliran.

"Kenapa, Ndra? Minta jatah cuti," sahut Bang Dewas, bercanda.

"Nggak lah, Mas. Malah kayaknya aku bakal cuti lama. Mbak Kal, aku izin resign."

HipokrisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang