Dua hari setelah selebaran lowongan pekerjaan disebar, seorang laki-laki dengan perawakan tinggi dan wajah yang oriental datang melamar posisi yang ditawarkan.
Di ruang istirahat, tampak Bang Dewas dan laki-laki itu sedang berbincang. Interviu, lebih tepatnya. Aku menyerahkan keputusan untuk menerima atau menolak pelamar kepada Bang Dewas sepenuhnya. Yang perlu kulakukan hanyalah memastikan orang itu dapat bekerja dengan baik agar pekerjaan di toko tidak dikontrol oleh Bang Dewas semua.
Padahal, sejak memutuskan membuka toko roti, aku sama sekali tidak ingin Bang Dewas bekerja di sini. Justru, aku ingin dia mencari pekerjaan yang sesuai passion-nya. Namun, demi mengingat janjinya untuk menjagaku, jadilah dia memaksa untuk tetap bekerja sebagai kepala dapur.
Karena posisi yang sebelumnya diisi Andra kosong, aku yang mengambil alih. Biasanya, aku hanya membantu di dapur. Tak jarang membantu membungkus roti yang dipesan atau mencatat pesanan sesuai permintaan jika Andra sedang sibuk.
"Kamu bisa handle dulu nggak, Lov? Aku harus ke belakang," kataku pada Lova. Kebetulan dia sedang lowong.
"Bisa kok, Mbak."
"Titip, ya."
Lova mengancungkan jempolnya. Aku pun menuju belakang, ke arah kamar mandi. Melewati dapur yang kosong. Tidak ada Silva. Sementara, di oven ada roti yang sedang dipanggang.
Ke mana kira-kira Silva pergi? Timer oven hampir habis. Sedangkan, aku harus ke kamar mandi secepatnya.
"Sil? Silva?"
Tidak ada sahutan. Apa jangan-jangan dia sedang buang sampah?
Aduh, tekanan di kantung kemihku makin mendesak.
Mau tak mau, aku menahan untuk ke kamar mandi dan menunggu timer oven habis dua puluh detik lagi. Begitu, terdengar bunyi dentingan yang khas. Aku membuka oven tanpa memperhatikan bahwa tanganku tidak memakai sarung pelindung. Dua detik menyentuh loyang oven, aku menjerit dan menjatuhkan roti yang masih panas itu ke lantai.
Aku langsung berlari ke kamar mandi dan membuka keran. Rasa dingin dari air dan panas yang masih tersisa saling melebur. Aku buru-buru menuntaskan urusanku sebelum tanganku semakin melepuh.
Pintu di gedor paksa dari luar. Aku yang sedang mencuci tangan sampai berjingkat kaget.
"Kamu kenapa, Kal? Kal? Kamu nggak apa-apa, kan?" Suara Bang Dewas terdengar panik. Mungkin akibat jeritanku tadi.
Aku membuka pintu dan menemukan Bang Dewas, Silva, Lova, dan seorang laki-laki asing menatapku cemas. Bang Dewas langsung menarikku keluar, memeriksa tubuhku dari atas sampai bawah.
"I'm fine."
"Terus, kenapa kamu jerit? Rotinya juga berserakan."
"Mbak lihat cicak, ya? Mangkanya, jerit dan lari ke kamar mandi," sahut Silva.
Ketika hendak menggaruk belakang kepala karena bingung, rasa perih menjalar sampai aku meringis kesakitan. Bang Dewas menarik tanganku dan memeriksanya.
"Tuh, kan. Tangan kamu melepuh. Pasti kamu ngambil loyang oven nggak pake sarung tangan, kan. Kebiasaan banget cerobohnya." Dia membawaku ke depan wastafel. "Masih perih, nggak?"
"Nggak terlalu." Tentu saja aku berbohong. Sakitnya bahkan semakin terasa.
"Kok bisa sih, Mbak? Itu oven baru dibuka, loh," celetuk Lova. "Rotinya aja masih panas banget, gitu. Mbak ngelamun, ya?"
"Ya gitu, deh. Maaf, ya, dapurnya jadi berantakan."
"Biar aku aja nanti yang beresin," tukas Bang Dewas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hipokrisi
RomanceMenjalani kehidupan setelah tragedi lima tahun lalu bukan lah hal mudah. Kallea berkali-kali jatuh bangun menghadapinya. Beruntung, seseorang rela menjaga dan selalu berada di sisinya setiap waktu. Namun, ketenangan yang awalnya mulai berjalan baik...