Meeting

7 0 0
                                    

Seperti yang sudah diberitahukan Wijid sebelumnya, hari ini Bunda datang menemuiku. Sosok yang kurindukan itu langsung menghambur memelukku. Tangis kami sama-sama pecah. Dadaku dipenuhi rasa haru.

Di umurnya yang mendekati setengah abad, wajah Bunda justru tampak lebih tua. Kerutan di sekitar mata dan sudut bibirnya seakan mempertegas sebanyak apa beliau menggunakan otot wajahnya. Barangkali, karena disebabkan tawa atau tangis yang diam-diam ditahannya. Aku tidak berani menemui Bunda sejak kepergian Ayah. Bagiku, Bunda sama sekali tidak peduli apakah aku masih sanggup hidup atau tidak. Beliau memiliki kehidupan baru. Kehidupan yang bahagia dan harmonis. Kehidupan yang tidak pantas kurusak.

"Bunda kangen banget sama kamu. Maafin Bunda yang ninggalin kamu, Nak. Bunda bersalah banget kamu nanggung semuanya sendirian. Bunda nggak ada di sisimu waktu itu."

Baru kali ini aku bingung hendak membalas apa perkataan Bunda. Jadi, yang kulakukan hanya mendengarkannya.

Ayah Larna juga datang, diikuti Wijid di sebelahnya. Berjalan beriringan begitu keduanya terlihat mirip. Tinggi badan Wijid telah melewati tinggi badan ayahnya.

Setelah Bunda melepaskan pelukannya dan menangkup wajahku dengan telapak tangannya, Ayah Larna dan Wijid mendekat.

"Anak Bunda udah besar ternyata. Pipimu terlalu tirus. Kamu makan teratur, kan?"

"Iya, Bun." Lima tahun rupanya berdampak besar terhadap interaksi kami. Rasanya sangat canggung.

"Apa kabar, Kal?" tanya Ayah Larna sembari tersenyum hangat. Auranya masih bersahabat seperti dulu. Dan, melihat kedekatannya dengan Wijid, sepertinya mereka telah berbaikan.

"Baik."

"Kamu tidak banyak berubah. Tetap manis dan cantik," pujinya.

"Terima kasih."

"Kamu mendirikan toko roti ini sendirian?"

"Ada Bang Dewas yang bantu."

"Benar penilaian saya. Kamu berpotensi besar untuk jadi pengusaha. Kalau kamu berminat, saya akan memberikan kamu saham yang sama dengan Wijid."

Aku melirik Wijid. Laki-laki itu tidak bereaksi apa-apa. Seolah apa yang dikatakan ayahnya sudah dia ketahui lebih dulu. "Kayaknya, ini masih terlalu awal buat kita bahas saham setelah lama nggak ketemu. Lebih baik kita duduk dulu." Aku mengajak mereka ke ruang istirahat.

Bunda sama sekali tidak berniat melepaskan genggamannya dari tanganku. Padahal, aku ingin meminta Marespatih menyiapkan jamuan untuk mereka.

"Bunda masih kangen sama kamu. Lima tahun Bunda nggak lihat kamu secara langsung, Kal. Apa kamu sangat membenci Bunda sampai merahasiakan keberadaanmu?"

"Nggak gitu, Bun. Aku cuma butuh nenangin diri."

"Sampai lima tahun?"

"Maaf, Bun."

"Bunda maafin. Sekarang, Bunda senang bisa ketemu kamu lagi. Janji jangan kabur-kaburan lagi?"

"Janji."

"Kamu tinggal sendirian? Tinggal sama Bunda aja, ya, habis ini. Rumah yang besar bikin Bunda kesepian tanpa ada kamu."

Ah, permintaan itu. Jurus terakhirku adalah tersenyum dan memberikan tatapan pengertian. Setidaknya, Bunda memahami jika permintaannya sulit kukabulkan.

"Kenapa? Kamu nggak mau?"

"Maaf, Bun."

"Kal, Bunda nggak minta hal yang berat, Sayang. Apa susahnya kamu mengiyakan?"

"Jangan dipaksa kalau Kal nggak mau, Wyd. Dia udah dewasa. Dia punya hak untuk nentuin keputusannya sendiri," sela Ayah Larna. "Nggak apa-apa kamu nolak, Kal. Saya paham. Asal kamu nggak menghilang dari kami lagi itu udah cukup. Saya senang bisa melihatmu lagi. Apalagi dalam keadaan sebaik ini."

HipokrisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang