"Cepat kesini, hari mulai gelap. Silahkan singgah dahulu di tendaku," panggil seorang perempuan berhijab yang berdiri
sendirian di samping tenda. Aku lihat kanan kiriku, untuk memastikan bahwa memang aku yang dipanggilnya. Wajahnya gelap, karena sinar matahari berada tepat di belakangnya. Aku sulit menggambarkan wajahnya."Kamu nunggu apa lagi? Ayo cepat kesini," panggilnya lagi. Tidak berfikir lama, aku lari menyusuri pantai bungaran menuju bukit gundul tempat ia dirikan tenda. Ketika jarak kami semakin dekat, kutemukan senyum pada rautnya. Astaga! Ia gadis yang kutemui ketika malam pengerupukan di Bongso wetan, Menganti. Bagaimana bisa? Apa kami seumat? Beberapa pertanyaan mengisi penuh otakku. Perlahan, ia membuka kain penutup rambutnya. Rambutnya terurai sepinggang. Angin semilir, membuat
rambutnya melambai tak beraturan."Kamu, perempuan pada malam Nyepi itu?" Tanyaku. Berharap mendapat jawaban yang menyenangkan, karena
Bawean memiliki penduduk mayoritas islam. "Adakah yang lebih indah dari sebuah pertemuan kembali?
atau kamu lebih suka menyamakan keyakinan, ketimbang kesetaraan hati?". Dua pertanyaan itu, mengunci erat
mulutku. Melemaskan langkahku, dan membuat nanar mataku yang tajam. Sinar matahari mulai temaram, wajahnya terlihat anggun dengan bias jingga dari warna senja. Matanya, persis dengan mata yang aku hafalkan ketika perempuan jawa berikat kain dipinggangnya, melempar senyum pada malam nyepi di Bongso Wetan silam."Hari mulai senja, sebentar lagi magrib. Tidak baik kan kalau kamu masih diluar. Mari masuk ke tenda," setelah menyuruhku, jemarinya langsung menyambut jemariku. Kami berdua masuk ke tenda. Di dalam, aku tidak menemukan Pastur, Kyai, atau bahkan Pendeta. Di dalam, hanya ada sosok hitam menyeramkan sedang kegirangan,
melihat kami saling berpelukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam ingatan sebelumnya
RomanceSenyum-senyum yang telah ku hafal dalam waktu yang lalu