“Papa sama Mama kok tega sama Jie? Besok ulangtahunnya Jie dan kalian benar-benar tidak ada yang kembali kerumah? Bahkan Kak Renjun dan Kak Jeno juga?!” suara Jisung terdengar melengking didalam ruang baca mansion mewah keluarganya.
Dia kecewa dan juga sangat kesal, pasalnya besok adalah ulangtahunnya. Tapi kedua orangtuanya bahkan kakak dan kakak iparnya asik liburan dan berencana pulang minggu depan.
“Maaf sayang. Hanya tahun ini saja kan Jie rayain ulangtahunnya sendiri? Jie bisa mengundang teman-teman Jie dan berpesta, uangnya sudah Papa transfer.” Ujar sang ayah berusaha membujuk putra bungsunya.
“Jie tidak pernah punya teman. Apa kalian lupa kalau mereka semua hanya mendekatiku karena kekayaan yang ku miliki? Aku tidak akan mengundang orang-orang seperti itu untuk merayakan hari bahagiaku.” Suara Jisung semakin meninggi, ia meremas buku yang tadi sedang dibaca olehnya.
“Sayang ... “ itu suara ibunya. “kalau begitu minggu depan saja kita rayakan ulangtahunnya Jie, bagaimana?” sang ibu berusaha memberi penawaran.
“Sudahlah .. kalian memang tidak menyayangiku lagi.”
“Adek jangan berkata seper- ....”
TUTTT!!!
Belum selesai sang kakak berucap, Jisung sudah lebih dulu mematikan panggilan itu, dengan sangat kesal ia membanting ponselnya ke lantai- menendangnya hingga membentur tembok dan berlari kearah kamarnya dengan isakan tertahan.
•
•
•
“sayang .. putra bungsu kita pasti sudah menangis sekarang. Kau tega? Sebaiknya kita pulang sekarang.” Ujar Winwin, ia merasa bersalah kepada anak bungsunya itu.
“Kita memang akan pulang sayang. Pesawatnya sudah siap, 20 menit lagi kita terbang kembali ke Korea.” Yuta menatap istri serta anak sulung dan juga menantunya. “hadiah untuk Jie sudah siap?” tanyanya kepada Renjun dan Jeno.
“sudah siap papa, ini hadiah terbaik untuk Jie. Aku memintanya langsung pada prof Mark, suaminya Haechan.” Jawab Renjun dengan senyuman manisnya.
“Benar-benar tidak akan mengecewakannya kan? Papa merasa bersalah karena membuat adikmu itu menangis sekarang.” Yuta mengusap wajahnya, ia memikirkan putra bungusnya yang pasti sedang mengunci dirinya dalam kamar.
“Jeno dan Renjun yakin Jie pasti akan menyukainya, Papa mertua.” Jeno, suami Renjun kembali meyakinkan Papa mertuanya.
“baiklah. Sekarang kita makan siang dan setelah itu pergi ke bandara. Papa tak sabar melihat Jie terkejut karena kejutan dan hadiah yang akan kita berikan padanya.”
“iya papa, sebaiknya kita bergegas. Karena aku sudah tidak sabar mencubiti pipi gembilnya itu karena berani-beraninya memutuskan sambungan telepon padahal aku masih bicara.” Dengus Renjun, tak terima. Membuat Jeno terkekeh pelan, mengusap punggung istrinya itu.
“Itu karena dia merasa kesal dan sedih, sayang.” Gumam Jeno.
“Aku tau, tapi aku memang sudah sangat merindukannya.”
“tentu, kau pasti merindukan adikmu itu." Gumam Jeno lagi lalu menarik lembut tangan istrinya menuju meja makan yang tersedia.
Mereka tidak boleh membuang-buang waktu lebih lama lagi bukan?
•
•
•
•
Tok !!!
Tok !!!
Tok !!!