Happy reading ✨
****
Kayra menunduk menatap selembar kertas yang ada di meja, menatap kertas itu sendu. Dia mengepalkan tangannya, matanya sudah memerah. Kayra beralih menatap kedua orangtuanya.
"Kamu sudah membacanya? Kita akan bercerai, lusa persidangan. Kamu dan Olive harus ikut ke sana, karena Ibu akan memenangkan hak asuh kalian berdua." ucap wanita paruh baya itu.
"Saya juga akan memenangkan hak asuh anak-anak saya." sahut pria berkepala empat itu tidak mau kalah dengan istrinya, yang akan menjadi mantan istri.
Kayra menggigit bibir dalamnya. Apa yang harus dia lakukan? Surat itu sudah di tandatangani keduanya, dia hanya bisa menyaksikan kedua orangtuanya berpisah?
"Kalian gak mikir Olive?" tanyanya, air matanya tidak bisa terbendung lagi, dengan cepat Kayra menghapusnya kasar.
"Ibu akan merawat kalian,"
"Saya juga bisa merawat kedua putri saya, tidak hanya kamu saja."
"Kalian berdua sama-sama egois! Olive masih kecil, bahkan dia gak pernah sekalipun bisa ngerasain Ayah atau Ibu ngambil rapornya di sekolah, atau ngeliat Olive yang yang lomba!" Kayra menghapus air matanya lagi. "Olive selalu nunggu Ibu sama Ayah pulang. Kalian pulang juga gak sampai dua hari. Tapi sekarang kalian pulang cuma bercerai?"
Kayra tidak bisa mengontrol emosinya sekarang. "Kalau kalian mau pisah silahkan, Kayra tetap sama Olive. Kayra sama Olive juga gak akan pergi dari rumah ini!" Kayra meninggalkan kedua orangtuanya yang ada di sana.
"Kamu liat? Harusnya kamu sebagai Ibu ada di rumah!" Pria itu menunjuk tangan pada punggung Kayra yang sudah tidak terlihat lagi.
"Aku kerja! Kita berdua kerja saja terkadang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup kita, bagaimana jika hanya kamu saja?" Wanita paruh baya itu membalas perkataan pria di hadapannya.
"Saya bisa mencari pekerjaan yang lebih gajinya,"
"Hanya itu yang kamu katakan, nyatanya pekerjaan kamu hanya sampai di sana. Kamu gak ingat waktu aku mau melahirkan Olive? Kamu saja tidak ada uang untuk persalinan!"
Kayra menutup selimutnya sampai menutupi kepalanya, kedua tangannya menutupi kedua telinganya agar tidak mendengar perdebatan kedua orangtuanya di ruang tengah saja. Dia hanya berharap Olive tidak mendengar apapun, berharap Olive tidak bangun karena terganggu oleh suara-suara perdebatan kedua orangtuanya. Kayra sedikit menyesali memilih pulang daripada tinggal di apartemen Reza beberapa hari lagi.
****
Kayra memasukan motornya ke dalam halaman rumah Kanaya, pagi ini Kayra mendatangi rumah Kanaya. Dia membantu Olive turun dari motornya. Kayra ikut turun setelahnya, lalu menaruh helm di jok motor. Olive langsung berlari menghampiri Alden di halaman depan. Kayra melangkah mendekati Kanaya yang baru saja keluar dari rumah.
"Kay?" panggil Kanaya menatap Kayra bingung melihat sahabat, mata sembab.
Kayra tidak menjawab, dia langsung memeluk erat Kanaya. Kanaya mengusap punggung Kayra, dalam hati Kanaya bertanya, ada apa dengan Kayra? Apa mungkin karena Reza? Bukan, bukan. Kemarin Kayra sudah memberi tahunya dan menjelaskan apa yang terjadi. Tadinya Kanaya sempat kaget, tapi setelahnya dia bernapas lega mendengar Reza dan Kayra yang sudah baik-baik saja.
Suara isakkan kecil terdengar, Kanaya melepaskan pelukannya, hidung serta mata Kayra memerah karena menangis. Kanaya menuntut Kayra masuk ke dalam, membawa Kayra masuk ke dalam kamarnya. Tidak mungkin Kanaya membiarkan Kayra menangis dan beberapa bodyguard dan para ART melihatnya.
Sesampainya di kamarnya, Kanaya mendudukan Kayra ke atas kasurnya, kembali memeluk sahabatnya yang belum saja berhenti menangis.
Dan akhirnya beberapa menit setelahnya Kayra berhenti menangis, dia melepaskan pelukannya. Kayra mengusap air matanya sambil menarik ingusnya.
"Jorok lo!" hardik Kanaya membuat Kayra mendengkus kesal.
"Ibu sama Ayah gue, Nay..." lirih Kayra menatap Kanaya yang masih setia menunggu penjelasan apa yang keluar dari mulutnya. "Mereka pisah."
"Apa? Pisah lo bilang? Gak usah ngeprank anjir lo Kay!" omel Kanaya.
Kayra menggelengkan kepalanya. "Tadi malam, mereka pulang ke rumah. Ngasih tau gue kalau mereka bakal pisah. Dan lusa persidangannya, Nay..."
"Lo gak mau cegah?" tanya Kanaya.
"Mereka kasih liat surat itu, dan mereka udah tanda tangani suratnya. Gue bisa apa?" lirihnya menunduk.
Kanaya menatap Kayra sendu, Kanaya tersenyum. "Lo udah sarapan?" Kayra menggelengkan kepalanya, mana bisa dia sarapan. "Sarapan dulu sana, tadi Mama masak banyak," Kanaya berdiri, dia menarik tangan Kayra agar mau ikut dengannya.
"Nyokap lo ada?"
"Kemarin pulang, gue bersyukur banget, takut Mama sama Papa gue malah ngerasa honeymoon?" Julidnya.
Kayra tertawa kecil, "gakpapa, punya adek,"
Kanaya berdecak, dia mendudukkan Kayra di kursi. "Gak dulu deh! Gue aja udah pusing sama Alden, si bocil kematian!" sunggutnya. "Gue mau manggil Olive dulu, lo ambil sendiri aja." Kanaya pergi meninggalkan Kayra.
"Loh ada Kay?"
Kayra tersenyum melihat wanita yang berjalan mendekatinya sambil tersenyum. Walaupun menggunakan daster, wanita itu masih saja terlihat cantik, sangat-sangat mirip dengan Kanaya.
"Hai, Tante?" sapanya membalas senyuman Mama Kanaya.
"Loh mata kamu kok sembab sih, Kay? Kamu abis nangis?" Wanita itu duduk di sebelah Kayra, menatap khawatir Kayra.
"Gakpapa, Tante."
"Lo belum ngambil makan juga?" Kanaya berjalan ke arah meja makan dengan tangan yang menggandeng tangan Olive.
"Kamu belum sarapan, sayang? Kok gak bilang sih?" Wanita itu langsung membalikkan piring yang ada di depan Kayra dan menaruh nasi goreng ke atas piring Kayra. "Nasi goreng, Kay? Aduh Tante lupa nanyain malah udah naruh nasi goreng di piring."
"Kay juga mau nasi goreng lagi, Tan. Laperrr.." jawabnya.
"Makan yang banyak ya?" Kayra mengangguk. Kini wanita itu beralih ke Olive yang masih menatap Kakaknya dan Mama Kanaya. "Olive mau sarapan apa?"
"Sama kayak Kak Rara!" jawabnya antusias.
"Sering-sering ke sini loh, Kay. Jangan pura-pura nolak alasan sibuk ya?" Wanita itu menatap garang ke arah Kayra.
"Iya, Tan."
****
8 Februari 2023