Malamnya, Bunda dan Wijid menginap di rumahku. Ayah Larna harus kembali ke Jakarta dikarenakan pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk ditinggal.
Pertama kali Bunda masuk ke rumah, air mukanya sedikit lebih berbinar dan cerah. Barangkali, menyadari bahwa hidupku berjalan sedikit lebih baik di sini.
"Kamu tinggal sendirian?" tanya Bunda.
Aku yang sedang memanaskan minyak, menoleh sejenak padanya. "Iya."
"Dewas tinggal di mana?"
"Di samping, Bun?"
"Di samping?"
"Iya. Di samping ada ruangan yang khusus dibangun buat tempat tinggalnya. Nyatu sama rumah ini juga."
"Kenapa dia nggak nyari rumah sendiri?"
Pertanyaan itu seharusnya sudah Bunda pahami. Bagaimana mungkin-aku-seorang perempuan berusia tujuh belas tahun bisa tinggal seorang diri di rumah ini setelah mengalami kejadian besar itu? Terlepas, lima tahun berlalu dan aku sudah menjadi perempuan dewasa, rasanya aneh saja bila aku jauh dari Bang Dewas.
Awal pindah kemari saja aku sedih mengetahui Bang Dewas tidak bisa tinggal satu rumah denganku. Aku takut ditinggalkan. Aku takut Bang Dewas menyerah menjagaku.
Sampai kemudian, Bang Dewas memutuskan akan membangun bangunan khusus sebagai tempat tinggalnya. Bangunan yang hanya berukuran lima kali enam meter persegi yang persis bergandengan dengan rumah ini.
Sebenarnya, bangunan itu hanya digunakan ketika dia beristirahat. Selebihnya, dia beraktivitas di rumah ini.
"Aku yang minta, Bun." Kuharap, Bunda tidak bertanya lagi.
Makan malam berjalan normal. Kami berempat menikmati hidangan dengan diselipi obrolan ringan. Kehangatan interaksi ini membuatku terus berpikir, akankah selamanya begini?
"Kamarnya udah aku bersihin. Bunda kalau mau istirahat di kamar, aja. Pasti capek kan habis perjalanan jauh."
Bunda mengangguk. Sembari, mengeratkan genggamannya.
Kami sedang menonton acara komedi di televisi. Bang Dewas dan Wijid kompak memilih duduk di bawah sambil memakan kuaci. Tawa keduanya lebur seiring pembawa acara itu menunjukkan aksinya.
"Kamu yakin Dewas orang yang tepat?" tanya Bunda kemudian.
Beruntung, Bunda bertanya dengan nada yang lumayan rendah.
"Kenapa, Bun? Apa yang ganjal di hati Bunda tentang ini?"
"Bunda takut kamu nggak bahagia. Kamu terlalu banyak terluka, Sayang. Bunda nggak mau kamu nerima luka lagi."
"Bunda." Giliran aku yang menggenggam tangan Bunda dan mengelusnya. "Cuma Bang Dewas yang rela jagain aku lima tahun ini. Dia ngelindungin aku. Dia habisin waktunya buat aku. Bunda jangan khawatir. Aku seratus persen yakin Bang Dewas orang yang baik dan bertanggung jawab."
Sejujurnya, di waktu tertentu aku bergelung dengan diriku sendiri. Apalagi, mengingat masa lalu Ayah dan Bunda yang berakhir dalam perceraian. Aku takut mengalami akhir seperti itu. Akhir yang membuat Ayah pergi dalam keadaan menahan rasa sakit fisik dan hati.
Namun, kutepis pemikiran itu setiap melihat Bang Dewas di sisiku. Dia bukan seperti Bunda yang akan memilih seseorang yang baru. Dia juga bukan seperti Ayah yang merelakan semuanya begitu saja.
Pernah suatu ketika, seorang pelanggan di toko memaksaku untuk memberikan nomor telepon. Saat itu, kupikir laki-laki itu sedang bercanda atau semacamnya. Namun, dugaanku salah. Laki-laki itu justru berbalik mengancam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hipokrisi
RomanceMenjalani kehidupan setelah tragedi lima tahun lalu bukan lah hal mudah. Kallea berkali-kali jatuh bangun menghadapinya. Beruntung, seseorang rela menjaga dan selalu berada di sisinya setiap waktu. Namun, ketenangan yang awalnya mulai berjalan baik...