2). Dia Yang Terus Berjuang

1K 130 57
                                    

Musik: Usik.
By 'Feby Putri'

🍁🍁

Jisung itu cacat, begitu orang-orang mengolok dirinya hampir setiap saat. Dia tidak berguna, menyusahkan orang lain, penyakitan yang seharusnya cepat-cepat mati saja.

Semua perkataan itu sedikit demi sedikit akan benar-benar membunuhnya. Tapi Jisung tak pernah ingin mati sia-sia. Dia selalu bertekad untuk sembuh, meskipun kenyataannya tak ada obat yang benar-benar mampu membuat kondisi fisik dan kemampuan inteleknya menjadi setara seperti orang-orang pada umumnya.

Tapi Jisung selalu percaya, ia tidak akan mati sebelum bertemu dengan kedua orang tuanya.

Jisung tak ingin mati secepat itu.

Buktinya, ia masih bisa bertahan sampai detik ini, hari ini, dan semoga sampai nanti.

Akibat insiden yang mungkin terjadi saat masih dalam kandungan, beberapa jaringan dan juga organ vitalnya mengalami kerusakan. Beberapa jaringan dan sel otaknya mati sehingga membuatnya tidak bisa bicara, mendengar, dan juga menggerakkan otot-otot tubuhnya dengan lugas. Selain itu, kerusakan kerusakan jaringan itu membuat Jisung diserang penyakit komplikasi yakni jantung dan lambung yang membuat tubuhnya rentan sekali tumbang.

Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuh kurusnya serasa dihantam hingga remuk redam. Jisung tak mampu mengadu melewati untaian kata, tak bisa menggambarkan seberapa sakit dirinya selain hanya melewati tetesan air mata.

Obat, rasa sakit, hening, dan bahasa isyarat. Hanya itu yang Jisung miliki selama hidupnya.

Hanya itu.

"Kamu, bisa aku minta tolong ambilkan itu?"

Jisung meminta tolong kepada salah satu anak yang kini tengah belajar bersama di ruang tengah panti untuk mengambilkan sebuah pena di atas lemari yang tak bisa ia jangkau karena kondisinya saat ini.

Namun gadis bernama Sua itu malah mendengus dan menatap Jisung dengan kasar, menyatakan ketidak-sukaannya pada pemuda itu. Hidup bersama sedari kecil tentu membuat anak-anak lain mengerti jika Jisung berbicara pada mereka menggunakan bahasa isyarat. Dan Sua tau, Jisung memintai tolong dari dirinya.

"Dasar bisu menyusahkan!" gerutu gadis itu tanpa bisa didengar oleh Jisung yang masih tersenyum dibelakangnya. Walaupun kesal, ia tetap beranjak mengambilkan pena untuk Jisung.

Beberapa temannya yang lain ikut menatap Jisung tak suka, namun Jisung yang tidak memperhatikan masih saja diam menunggu pena itu diberikan kepadanya.

"Ini, sudah sana pergi! Jangan mengganggu kami!" Sua memberikan pena itu pada Jisung sembari mengusirnya dengan bahasa isyarat

"Terimakasih."

Tanpa ekspresi terluka atau tersinggung sedikitpun, Jisung segera memutar roda kursinya pergi menjauhi ruang tengah. Padahal ia, sangatlah mengerti segala siratan buruk yang ditujukan pada dirinya.

Anak-anak panti memang terkesan menjauhi dirinya, sebab beberapa dari mereka menganggap Jisung memiliki hak istimewa yang semestinya tak ia miliki. Mereka merasa Jisung diperlakukan lebih spesial oleh Bibi Nam dan anaknya Changbin. Mereka merasa iri, dan berakhir memusuhi.

Namun Jisung tak pernah mengadukan semua perlakuan buruk yang ia dapatkan pada Bibi Nam ataupun Changbin. Ia rasa, sikap teman-temannya memiliki validasi yang kuat sebab ia sendiri menganggap bahwa dirinya memang pantas untuk dibenci. Hidup orang-orang disekitarnya pasti terbebani dengan kondisi Jisung, begitulah yang ada dalam pikiran bocah itu.

"Harusnya kamu lemparkan saja sekotak pena itu ke wajahnya. Aku muak sekali melihat wajah anak itu."

"Mulut sampahmu itu berbicara terlalu kencang! Kamu mau Ibu tau?"

"Presetan, aku benar-benar muak. Aku harap dia cepat mati."

"Kau keterlaluan, Jun!"

"Daddy! Akhirnya Daddy pulang!"

Pemuda manis dengan senyum lebar dan beberapa taburan bintang di pipinya berlari kencang mendekati sang ayah yang baru saja memasuki rumah.

Bang Felix, pemuda enam belas tahun anak dari Christopher Bang dan Sana Bang itu segera memeluk ayahnya dengan erat. Melepas kerinduan setelah dua bulan tidak bertemu akibat keperluan bisnis Chris di luar negri.

"Rindu~"

Air matanya hampir menetes karena rasa senang yang membuncah akibat kepulangan tiba-tiba sang ayah.

Chris yang sebenarnya masih lelah tersenyum tipis dan balas memeluk anak satu-satunya yang ia punya itu, mengelus surai kecoklatan milik Felix penuh kelembutan. "Iya, Daddy juga rindu, boy. Rindu Mommy juga, dimana Mommy sekarang?"

Felix menatap sang ayah, kemudian menggeleng pelan sebelum kembali menyembunyikan wajahnya pada pelukan sang ayah. "Tidak tau," cicit pemuda itu kecil.

Chris menghela nafas, pasti istrinya itu masih sibuk dengan teman-teman sosialitanya sekarang. Selalu seperti itu, membuat Chris jadi khawatir dan takut Felix merasa kurang diperhatikan.

"Yasudah kalau begitu, kita tunggu Mommy pulang. Setelah itu kita pergi ke restoran langganan Mommy dan memesan banyak menu kesukaanmu, okay?" usul Chris agar sang anak tidak merasa sedih.

"Okay Dad!"

Begitu rencananya, namun setelah ditunggu hingga tengah malam pun sang istri tak kunjung datang. Beruntung Chris sempat meminta sang anak untuk makan sebelumnya. Jadi rasa lapar bisa dinetralisir.

Tapi tetap saja, Chris merasa bersalah pada sang anak yang kini bahkan tertidur di sofa ruang tengah karena menunggu kedatangan Sana. Chris sudah mencoba menghubungi Sana, namun wanita itu malah menolak dan hanya mengirimkan pesan singkat bahwa ia saat ini tengah tak bisa diganggu.

Sungguh, selama hampir tujuh belas tahun menjalani rumah tangga yang seperti ini, Chris merasa lelah dan muak. Namun ia tak bisa menuruti kehendak untuk memutus sepihak. Sebab Felix, sebab anak yang kini tengah tidur di hadapannya dengan hembusan nafas tenang dan pelan.

"Maafkan Daddy, Felix. Kamu harus hidup dengan kurangnya perhatian dan kasih sayang Daddy dan Mommy. Tapi percayalah, nak. Daddy dan Mommy sangat menyayangi Felix meskipun terkesan selalu sibuk."

"Minho, Minggu depan ada kegiatan himpunan mahasiswa ke beberapa tempat sebagai bentuk pelaksanaan peduli terhadap lingkungan dan sosial. Kamu ikut?"

Minho menggeleng atas pertanyaan sang teman yang bernama Hoongjong barusan. Saat ini mereka tengah berada di kantin rumah sakit untuk sekedar meminum secangkir kopi karena masa bertugas hari ini telah usai.

"Aku belum memastikannya. Bagaimana denganmu?" Minho balik bertanya sebelum menyeruput kopi susu miliknya.

"Aku sih ikut! Lagipula jika kau ingin ikut, pihak rumah sakit bisa memberikan izin selama dua hari. Jadi sehari berkegiatan sosial, sehari lagi bisa tidur sepuasnya di rumah."

Minho terkekeh pelan. "Jadi tujuan mu yang sebenarnya apa? Membantu masyarakat atau tidur seharian penuh?" tanyanya yang tentu dalam nada bercanda.

"Yang kedua." Kemudian keduanya sama-sama tertawa atas lelucon bodoh itu.

Minho dan Hoongjong adalah mahasiswa bergelar S1 kedokteran yang sekarang tengah menjalani program profesi untuk mendapatkan gelar dokter spesialis di bidang THT.

Sebagai seorang calon dokter, tentu keduanya memiliki jiwa sosial yang tinggi. Oleh sebab itu baik Minho maupun Hoongjong tidak pernah absen jika ada kegiatan sosial yang diadakan oleh pengurus organisasi sebelumnya.

Tapi entah untuk yang kali ini.

"Memangnya, tahun ini kemana?"

"Panti asuhan little sun."

TBC.

Oh iya, kalo suka book ini. Boleh vote dan komen yaaaaaa.
Kasih pendapat kalian juga🙃
Makasihhhhhhh








UNWANTED (Bang Fam)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang