Bagian 15

48 5 0
                                    

Saat matahari masih sepenggalan naik dari peraduannya, menemani kesibukan masyarakat di Kota Pekanbaru. Membentuk bayang-bayang pendek di setiap benda yang ia sinari. Juga untuk seorang perempuan berjilbab biru, bergamis putih, berjalan pelan menuju warung Ayam Renyah di sudut salah satu gang di Kota Pekanbaru. Gadis itu asyik bermain dengan bayangannya sendiri, terkadang ia melangkah cepat, terkadang lambat, terkadang berhenti, terkadang juga memainkan tangannya. Kemudian tersenyum tipis melihat bayangannya sendiri.

Gadis itu begitu menikmati hangatnya mentari pagi. Juga permainan bayangan kecil yang ia lakukan tersebut. Gadis itu menjadi pelanggan pertama warung Ayam Renyah pagi itu. Ia mendorong pintu kaca, berjalan pelan menuju meja kasir. Tersenyum melihat Nadira yang duduk disana.

"Pagi, Kak!" sapa Nadira dengan senyum ringan.

"Pagi juga, Kak, ayam crispy-nya satu, pake nasi ya, Kak," pinta gadis berkulit putih itu.

"Ok, siap, Kak, tunggu sebentar ya," jawab Nadira, ia bangkit dari kursinya, kemudian berjalan ke pintu dapur, meminta Ervi yang sibuk di dapur untuk menyiapkan pesanan gadis itu.

Nadira kembali ke kursinya, mempersilahkan si gadis tersebut untuk duduk sembari menunggu pesanannya.

"Nggak usah, Kak, saya nunggu disini saja," tolak gadis itu pada tawaran Nadira, "ngomong-ngomong, Kakak masih kuliah kah?" tanyanya mencari topik pembicaraan.

Nadira mengangguk, "Iya. Kak, baru semester tiga, Kakak sendiri juga kuliah?"

Gadis itu juga mengangguk, "Iya, ini baru sampai dari kampung, buat bimbingan, mau sidang akhir bulan depan," jawab gadis itu yang tidak memanggil Nadira lagi dengan 'Kak' setelah tahu bahwa ia lebih tua.

Nadira terdiam sejenak, teringat bahwa Ervi belum bimbingan karena masalah dengan Erwin dua hari lalu. Ia sangat berharap Ervi dapat sidang akhir sebelum semester baru, agar beban biaya kuliah mereka dapat berkurang. Setidaknya mereka hanya perlu mengupayakan biaya kuliah Nadira saja. Tapi keadaan yang terjadi malah membuatnya kesal, dari awal ia memang tidak suka dengan kehadiran Erwin di dalam hidup Kakaknya.

"Yang rajin saja kuliahnya, Dek, perbanyak pergaulan, cari relasi sebanyak mungkin, apalagi kamu sudah bekerja seperti ini, relasi yang baik bisa jadi peluang usaha untukmu nanti," tutur gadis itu memberi Nadira nasehat.

Nadira tersenyum, mengangguk pelan, kali ini gadis itu memanggilnya dengan sebutan, 'Dek' membuat Nadira merasa juniornya saja di kampus.

"Pandai-pandai juga sama dosen, kelakuannya banyak, beragam, yang penting jangan pernah bolos, nilai nggak perlu bagus-bagus amat, karena yang kita perlukan untuk di masa depan itu skill dan kemampuan memanfaatkan peluang. Juga saat penelitian nanti harus fokus, gigih, nggak malas-malasan, biar cepat selesai. Ngapain lama-lama di kampus, buang-buang umur saja." Gadis itu melanjutkan nasehatnya, tangan kirinya sibuk memperbaiki jilbabnya yang panjang.

Beberapa menit berlalu, gadis itu masih menasehati Nadira akan banyak hal tentang kehidupan kampus. Juga sesekali Nadira menanggapi, menghormati tamu warungnya. Bahkan ia tidak menyadari saat Ardan masuk ke sana, berjalan pelan mendekati meja kasir. Seketika saja gadis itu berhenti menasehati Nadira saat menyadari ada laki-laki yang berdiri di sebelahnya. Ia menunduk memalingkan wajah dari Ardan.

"Yang biasa, Dir," ucap Ardan dengan datar. Sejenak ia melirik gadis yang menunduk di sebelahnya, kemudian memalingkan wajah, Ardan lebih tertarik melihat Ervi yang baru keluar dari pintu dapur.

Nadira melihat gadis berjilbab biru itu dengan takjub. Masih ada rupanya gadis seperti itu, mampu menjaga diri dari melihat laki-laki, juga mampu menjaga diri dari tatapan laki-laki. Sementara Ervi yang baru keluar dari pintu dapur sedikit kaget melihat Ardan disana, ia segera menunduk, mengalihkan matanya dari Ardan. Berjalan pelan menuju meja kasir.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang