#09

13.7K 1.5K 10
                                    





"Yoo Joonghyuk! Bagaimana bisa kau menodongkan pisau kepada Gilyoung? Dia masih anak dalam perawatan!" Omel Profesor Dokja. Pria itu kini menarik lengan Joonghyuk kedapur dan mengajaknya bicara di pantry— tempat Joonghyuk berada sebelum dia menerobos kekamar Gilyoung.

"Dia mencoba menikahimu, tentu saja aku akan mencegahnya." Jawabnya, dengan nada datar dan ekspresi yang tak kalah datarnya.

"Kenapa?"

"Karena dia akan mati."

Dokja memukul lengan robot itu pelan, "Dengar, aku tidak gila untuk berbuat seperti itu."

"Seperti apa?"

"Menikahi anak kecil. Kalaupun aku mengatakan 'ya Gilyoung, paman ini akan menikahimu' mungkin aku akan ditangkap saat itu juga," jelas Dokja.

"Baguslah kau tahu, profesor."

Yoo Joonghyuk akhirnya diam. Memilih kembali fokus pada masakannya yang sempat terbengkalai karena dirinya yang kalap mendengar percakapan Gilyoung dan Dokja. Karena wajahnya yang selalu datar dan seperti tidak punya emosi itu penyebab kenapa Profesor jadi sedikit kesulitan untuk menebak isi kepala Yoo Joonghyuk.

Dokja melihat robot itu kembali ke aktivitasnya, dan kemudian bertanya. "Kau bisa mendengar kami? Dari sini?"

Yoo Joonghyuk mengangguk. "Itu terjadi begitu saja."

"Jelaskan lebih detail. Kenapa bisa begitu?"

"Aku memikirkannya, mengenalinya, memahaminya, dan menjadi satu dengannya, lalu itu menjadi milikku. Begitu saja. Aku sendiri adalah mesin itu sendiri, jadi aku berasumsi jika cukup dengan mengenali teori, fungsi, cara kerjanya saja sudah menjadikan mesin itu milikku, profesor."

Dokja menghela nafas sembari mengurut keningnya, "Joonghyuk... awalnya aku tidak berniat untuk mengatakan ini, tapi," Dokja kemudian melirik robot tampan itu dan melanjutkan. "Ingatlah siapa dirimu."

"Robot ciptaanmu."

"Ya, itu benar. Kau robot. Jadi, teruslah berpikir tentang apa yang akan terjadi jika semua orang tahu itu dan berhati-hatilah. Dan kemudian, karena kau milikku, maka jangan sampai aku melihat orang lain membedahmu untuk melihat apa yang terjadi ditubuhmu."

Gerakan tangan Yoo Joonghyuk terhenti, matanya menatap Dokja yang sedang memandangnya dengan tatapan cemas, "Aku akan mengingatnya... profesor."

Dokja tersenyum tipis, "Kau benar-benar seperti hadiah Tuhan."

"Hadiah Tuhan?" Joonghyuk tampak berpikir sejenak dan tidak mengerti.

Tapi Dokja melanjutkan, "Seolah-olah Tuhan mengerti apa yang aku inginkan. Kau tahu, kalau saja hari itu aku gagal dalam penyelesaian terakhirku, aku mungkin akan gila, karena aku sudah merusak Yoo Joonghyuk. Tapi ajaibnya, kau berhasil. Kau mengenaliku, kau juga bersikap baik padaku, menurutiku, dan melakukan hal yang aku senangi."

"Itu wajar, karena kau membuatku begitu teliti hingga aku mampu berbuat begitu."

"Aku hanya manusia, Joonghyuk." Dokja berkata pelan. "Aku berusaha sampai mati agar kau bisa mengerti perasaanku, maksudku, dan segalanya. Tapi pada akhirnya, Tuhan membantuku. ..."

Dokja melirik Joonghyuk yang terlihat bingung. "Kalau melihat Yoo Joonghyuk sekarang, aku merasa seperti Tuhan telah memberinya ruh."

"Membantu dalam hal apa, profesor?"

"Membantu agar kau hanya menyukaiku saja." Dokja tersenyum jenaka. "Bercanda."

Joonghyuk terdiam mendengarnya. Bahkan saat Dokja menghilang dari hadapannya, Joonghyuk tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya dari bayangan Dokja yang menjauh.

Dia bergumam kemudian, "Benar juga. Ia membuatku hanya menyukaimu saja, Profesor."

***

"Wahh Kim Dokja, ACE pusat penelitian Seoul! Kau membuat mahakarya lagi setelah 4 tahun, ya!" Ketua pusat penelitian memeluk Dokja dengan riang. Tentu saja, Dokja sudah mengamankan 3 investasi besar untuk projek terbarunya, mesin memasak otomatis.

Dokja tersenyum miris. Dia sudah menebak sedari awal jika ketua pusat penelitian akan senang dengan proyek ini. Setelah Dokja bergabung dengan tim peninjauan pesawat udara dan mengumumkan pembuatan mesin alternatif saat pesawat udara kehabisan bahan bakar, semua orang didunia memuji pusat penelitian Seoul.

Tentu saja Pak Kepala Han Myungoh tidak akan membiarkan projek besar lolos atas nama satu peneliti saja. Dia pasti mengumumkannya atas hasil karya dari pusat penelitian.

Tapi itu tidak masalah,

Karena Dokja setuju mengenai hal itulah, makanya Pak Kepala Han Myungoh membiarkannya selama 3 tahun tanpa menelisik ranah pribadinya. Mungkin, ini sudah saatnya kesabaran dia habis dan mendesak Dokja membuat penemuan hebat lain.

Itu mengapa Dokja membuat mesin memasak itu, yang jika diberi resepnya, akan memasak sesuai dengan resep dan bahan yang disediakan.

"Ah, tapi..." Han Myungoh tersenyum, sedikit bingung. "Bisakah kau membuat satu penemuan lagi?"

"Kenapa? Apa ini tidak cukup menjanjikan?" Tanya Dokja, dingin.

"Bukan begitu, Profesor Kim. Masalahnya... para investor meminta agar mesin ini sepaket dengan mesin serving makanan. Mereka minta agar mirip seperti hotel bintang lima."

Ini lagi.

Terkadang, Dokja heran, mengapa Han Myungoh bisa jadi eksekutif pusat penelitian, padahal dia sangat tunduk pada investor yang bahkan bukan orang Korea.

Dokja menghela nafas jengah. "Tidak bisa."

"Kenapa?! Bukankah kau jenius? Jika begitu saja pasti mudah, kan?!" Tuntutnya.

"Jenius apa?" Dokja berdecak remeh. "Bukankah kau yang mengatakan jika aku orang beruntung yang direkrut pusat penelitian dan membantu peninjauan pencegahan kecelakaan pesawat udara, dan kemudian sukses menbuat hal gila semacam mesin alternatif bahan bakar karena pusat penelitian mendukungku penuh dari belakang?"

Dokja ingat. Setiap kata yang dielu-elukan untuk menceritakan penemuan hebat yang dibuatnya berbulan-bulan tanpa tidur. Mesin yang dibuat Dokja dengan susah payah meski dengan cemooh dari para senior yang mengatakan dia sok.

Tapi Dokja bertahan karena tidak ingin ada kecelakaan lagi yang terjadi karena masalah bahan bakar pesawat.

Dan mereka meng-klaimnya.

Dokja selalu terlihat tenang, tapi dia benci penemuannya diklaim. Dan lebih menjijikkannya...

Mereka selalu siap menimpakan kesalahan pada Dokja jika penemuan itu bermasalah.

Terkadang Dokja benci pekerjaannya sendiri.

Han Myungoh berkeringat dingin. Namun ia tetap kemudian mendekat lagi. Dia pasti tidak merasa tersindir karena prioritasnya adalah permintaan investor itu.

"Ayolah Dokja... jangan begitu."

"Bilang kepada mereka, boleh tarik investasinya lagi jika mereka tidak senang. Perkembangan teknologi maju itu bagus, tapi jangan sampai membuat terlena." Setelah mengatakan itu, Dokja memasukkan tangannya ke kantung jasnya dan berjalan lagi, tanpa memedulikan Han Myungoh yang menatapnya benci.

"Dasar. Dasar sial. Dasar sosiopat arogan!" Bentaknya. Tepat setelah Dokja pergi dari ruangannya.

YJH 0.9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang