103 - [Alby] Frustrated

686 93 22
                                    

Aku tidak percaya karma itu nyata, pada awalnya. Namun, kupikir aku sedang mendapatkannya kali ini. Tepatnya setelah apa yang kurencanakan dengan menjadikan Ava sebagai umpan. Seperti yang sudah diperkirakan, seharusnya ini berakhir sedikit lagi, tanpa keterlibatan rasa ketertarikan atau situasi-situasi yang rumit. Awalnya berjalan dengan sempurna, tetapi Ava menunjukkan kesan yang baru padaku. Menjadi kacau bukanlah bagian dari rencana, tetapi ini pasti balasan atas apa yang kuperbuat.

Sejak pertama ditolak Ava, ada sesuatu dalam diriku yang memaksa untuk mencari cara lain agar bisa mendapatkannya. Benar yang dia katakan, wanita lain pasti akan langsung setuju. Siapa yang akan menolak diberi kemewahan, kebutuhan yang terpenuhi, atau pria tampan untuk dipamerkan sebagai kekasih. Akan lebih masuk akal jika mereka menerima alih-alih menolak dengan beragam alasan. Boleh kuakui kalau Ava punya penghargaan yang sangat tinggi untuk dirinya. Dan itu menjadi salah satu alasan kenapa aku tertarik padanya.

Satu hal yang masih membuatku takjub sampai saat ini adalah fakta bahwa dia belum pernah disentuh siapa pun, termasuk pria yang sudah dikencaninya selama empat tahun. Awalnya aku tidak percaya dan berpikir dia hanya membual saking tidak sukanya padaku, tetapi tidak mudah berpura-pura tremor ketika seseorang menyentuhnya. Bibirnya yang begitu lembut menjadi bukti bahwa dia memang belum pernah melakukannya. Aku masih mengingatnya, sentuhan pertama bibir kami, yang membuat tanganku bergerak menyentuh bibir tanpa disadari. Kuusap bibir bawahku seperti berusaha mencari jejak bibirnya di sana. Namun, sebelum seseorang menyadari aku melakukan sesuatu yang agak aneh, aku buru-buru mengubahnya menjadi pose sedang berpikir. Dokumen di hadapanku sedang perlu perhatian, tetapi aku justru tidak berhenti memikirkan semua hal tentang Ava.

Dia benar-benar seperti tumbuhan parasit, sulit untuk disingkirkan dari pikiran.

Muncul keinginan untuk menjadi kali pertama untuknya. Gara-gara bibirnya, aku tidak berhenti memikirkan bagaimana rasanya jika dia berada di bawahku, tanpa apa pun yang menghalangi kontak tubuh kami. Namun, aku selalu merasa sangat bersalah ketika dia sudah meneteskan air mata. Sulit untuk menerima penolakannya. Itu melukai harga diriku, sungguh. Aku marah, kecewa, tetapi semuanya diburamkan oleh rasa bersalah. Keinginan untuk melakukannya, yang seharusnya bisa kulampiaskan bersama orang lain, menguap begitu saja. Lalu aku sadar, dia menjaganya untuk seseorang yang memang ditakdirkan untuknya. Sayangnya, orang itu bukan aku. Aku sudah tersesat dalam kekecewaannya, hingga sulit untuk menemukan jalan kembali.

Aku tidak ingat sejak kapan ketertarikan itu muncul. Yang pasti, aku menikmati semua hal yang kami lakukan bersama. Aku suka ketika dia memprotes kedatanganku yang sesuka hati, aku suka ketika dia menikmati berondong jagung, dan aku suka melihatnya sangat serius ketika sedang mendesain sesuatu di iPad-nya yang sudah tua--dia bahkan menolak kubelikan yang baru. Sulit untuk membuatnya senang, tetapi ada kebanggaan tersendiri ketika aku berhasil membuatnya tersenyum. Tayangan kartun tikus dan kucing itu, meski sudah ditonton berkali-kali, dia masih tertawa. Aku pernah memotretnya diam-diam saat tertawa dan hasilnya sangat cantik, bahkan kujadikan sebagai wallpaper ponsel tanpa dia tahu.

Bagian terburuk dari semua ini adalah, aku tidak bisa menghubungi Ava. Namun, aku juga tidak berusaha menghubungi dengan nomor yang lain. Aku khawatir kalau makin kukejar, dia akan makin menjauh. Di tengah-tengah kesibukan yang menyiksa ini, aku perlu banyak minum untuk menghilangkan kesadaran.

Aku berdiri, menenangkan pikiran sejenak dan menghampiri mini bar demi segelas wine, lalu menghampiri jendela setelah menenggaknya.

"Hentikan saja."

Satu helaan napas kukeluarkan dan kuedarkan pandangan pada hamparan kota London yang diguyur hujan, dari sini, lantai dua puluh gedung apartemen yang kutempati. Di luar sana begitu lembap, hampa, persis seperti yang kurasakan sekarang. Sangat tidak nyaman. Aku bicara pada Jacob yang saat ini sedang memeriksa data di laptop yang biasa kupakai bekerja. Melalui pantulan kaca di hadapanku, dia menatap punggungku dengan wajah kebingungan.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang